Mohon tunggu...
hengki parahate
hengki parahate Mohon Tunggu... Guru - guru/Yayasan Kanisius Cabang Semarang/SMP Kanisius Budi Murni Weleri - Kendal, Jawa Tengah

Lahir 5 Desember 1986 di Kendal, Semarang Jawa-Tengah. saat ini sedang menyelesaikan studi s1 jurusan ilmu ekonomi pembangunan di UAJY dan tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan Hati Nurani

20 Maret 2017   18:14 Diperbarui: 20 Maret 2017   18:33 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukan pendidikan sama sekali”

Aristoteles, Filsuf Yunani.

Keberadaan pendidikan memiliki peranan penting dalam pembangunan multidimensional bangsa dan negara. Terlepas dari segala macam terori tentang hakikatnya, pendidikan sesungguhnya menitikberatkan pada pengolahan manusia (sebagai proses humanisasi), agar lebih bermartabat dan beradab. Dengan demikian, pendidikan diharapkan dapat melahirkan manusia – manusia yang dapat menjadi motor peradaban hidup yang semakin bermartabat. Namun demikian, pendidikan

Secara ekonomis, pendidikan merupakan variabel independen yang sangat berpengaruh pencapaian pembangunan. Dalam kepustakaan pendidikan, A. Coleman menyatakan bahwa fungsi pendidikan sebagai sarana pengembangan dan  pertumbuhan ekonomi, sarana sosialisai nilai dan rekonstruksi sosial, serta sarana penyadaran dan pembangunan politik (A. Coleman, Education and the Political Development, Princeton, New Jersey, 1969).

 Maka pendidikan pada dasarnya merupakan aspek sentral yang akan menentukan wajah  pembangunan bangsa dan negara dalam segala bidang. Sebab, pendidikan hakikatnya proses menggarap realitas masyarakat, sehingga terjadi refleksi dan aksi guna memperbaiki realitas masyarakat yang kurang manusiawi agar lebih manusiawi. Sederhananya, secara matematis kualitas pembangunan merupakan fungsi dari pendidikan.

Namun demikian, kenyataan berbicara lain dari teori. Nampak bahwa pendidikan selama ini mengalami irrelevansi atas perkembangan dan pembangunan masyarakat dewasa ini yang mengalami berbagai persoalan dan mendesak untuk segera di atasi, seperti kemiskinan, ketidakadilan, separatisme, sikap esklusifisme sektarian, intoleran, budaya korup dan egoisme sosial yang semakin akut dan menghambat pembangunan. Inilah potret konstruksi masyarakat kita dewasa ini. 

Maka, dalam hal ini pendidikan telah gagal menjadi sarana sosialisasi nilai dan rekonstruksi sosial yang telah berimbas pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus mengalami demoralisasi (kehilangan nilai – nilai moral dalam hidup bersama untuk kebaikan bersama), sekaligus sarana penyadaran dan pembangunan ekonomi, sosial dan politik. Dengan kata lain, pendidikan telah gagal memobilisasi manusia – manusia lulusanya menjadi agen perubahan, sebaliknya menciptakan disinherited masses (Paulo Freire, 2007), yaitu manusia – manusia yang terasing dan tercerabut dari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitar.

Akar persoalan

Kegagalan pendidikan sebagai lokomotif perubahan dalam masyarakat yang kurang beradab seperti diuraikan di atas, menurut hemat penulis terjadi karena beberapa hal. Pertama, karena kurangnya pemahaman tentang hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Hal ini berdampak pada bangunan fondasi sistem pendidikan kita yang rapuh, sehingga orientasi pendidikan kita lebih pada pencapaian nilai akademik saja, tetapi kurang menggarap karakter manusianya secara utuh meski selalu di dengung – dengungkan. Kita dapat melihat dan rasakan bagaimana pendidikan kita lebih mengutamakan transfer pengetahuan yang tidak dibarengi dengan proses penyadaran manusia – manusia yang terlibat di dalamnya, 

yaitu proses memahami pertentangan – pertentangan sosial ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan unsur – unsur yang menindas dari situasi pertentangan itu. Dalam hal inilah pendidikan kita kurang mengolah rasa dan hati manusia – manusia di dalamnya, sehingga cenderung mencetak generasi yang cenderung buta akan jati dirinya sebagai mahkluk sosial yang mengusahakan bonum commune (kebaikan bersama) bukan hanya untuk mengejar kebaikan sendiri maupun kelompok tertentu.

Kedua,  tidak adanya politic will dari pemerintah untuk menggarap pendidikan kita dengan serius. Terbukti dari realisasi anggaran untuk pendidikan yang tidak pernah mencapai dua puluh persen sebagaimana yang diamanatkan undang – undang. Padahal anggaran tersebut diperlukan untuk melakukan pembangunan infrastruktur pendidikan yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun