Hampir tidak dapat dipercayai bagi kita semua, terutama warga masyarakat Sukorejo Kendal atas musibah sosial yang kini telah dialami oleh masyarakat setempat, pasca insiden bentrokan yang terjadi antara Front Pembela Islam (FPI) dengan masyarakat pada Kamis, 18 Juli 2013 lalu. Meski saat ini peroalan tersebut telah masuk dalam ranah hukum dalam kepolisian Kendal, namun nampaknya insiden tersebut telah membangun stigma ketidaknyamanan masyarakat Sukorejo meski situasi sudah berangsur kondusif.
Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, sebagaimana telah kita ketahui bersama sepak terjang ormas FPI di berbagai wilayah nusantara memang selalu indentik dengan tindak anarkis, kekerasan dan bergerak di luar kerangka hukum yang berlaku. Persolaanya sekarang, bagaimana seharusnya kita menyikapi persoalan ini sebagai anak Bangsa?
Empat Pilar Kebangsaan
Tindakan anarkisme, kekerasan, pelanggaran hukum dan meresahkan senantiasa dilakukan oleh FPI dalam setiap aksi yang berlandaskan azas keagamaan “amar makruf nai munkar”, jelas telah menodai nilai – nilai hidup masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Indonesia merupakan negara atas dasar kemajemukan yang tidak bisa terbantahkan oleh siapapun dan oleh apapun juga. Maka empat pilar kebangsaan yang menjadi soko guru hidup berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebhinekaan, hendaknya dijunjung tinggi oleh setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Demikianlah kiranya pedoman kebangsaan kita yang telah dibangun oleh para founding father’s kita.
Maka dalam kasus insiden bentrokan FPI dengan masyarakat di berbagai wilayah, termasuk yang terbaru terjadi di Sukorejo tersebut, merupakan sinyalemen perong-rongan empat pilar kebangsaan tersebut. Jika senantiasa dilestarikan, tak ayal bangsa ini akan menemui kehancuranya. Dengan demikian, dalam kerangka berfikir dan kepentingan inilah hendaknya Negara, FPI dan masyarakat menginsyafkan diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Hendaknya masing-masing pihak memposisikan diri pada kapsitasnya masing-masing. Terkait dengan hal tersebut, menjadi jelas bahwa apa yang dilakukan oleh FPI mengambil porsi yang mestinya menjadi bagian kewenangan dan tugas kepolisian.
Negara Tetap Bertanggung Jawab
Dalam konteks persoalan gesekan horizontal ini, pada dasarnya negara telah lalai akan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Pada dasarnya negara berupaya untuk senantiasa melakukan pembangunan demi mencapai kesehateraan bagi seluruh rakyatnya. Pembangunan yang dimaksud sebenarnya bukan sekedar pembangunan dalam aspek ekonomi semata, melainkan juga meliputi pembangunan dalam aspek sosial dan politik. Dengan kata lain, kesejhateraan yang hendaknya dicapai harus lebih meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik dan bermartabat secara manusiawi.
Pada dasarnya, satu sisi apa yang diperangi oleh FPI dalam hal ini kemaksiatan memang merupakan hal yang dapat kita apresiasi, akan tetapi cara yang digunakan adalah salah. Berbicara soal kemaksiatan (dalam terminologi agama) atau ‘penyakit masyarakat’ (dalam terminologi sosial) seperti pelacuran dan perjudian, hakekatnya berbicara soal penghidupan. Dari sudut pandang ekonomi-sosial, jelas merajalelanya pelacuran dan perjudian merupakan tanda ketidakmampuan negara memberikan ruang pekerjaan yang layak secara kemanusiaan bagi setiap warganya. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang begitu kita banggakan dengan kisaran 6% per tahun, tidak mampu merata diterima bagi seluruh lapisan masyarakat yang ada sekaligus tidak mampu membuka kesempatan kerja. Maka sesungguhnya kemaksiatan ataupun yang kita sebut sebagai penyakit sosial dalam bentuk pelacuran dan perjuadian merupakan penyakit pembangunan kita selama ini. Negara sudah layak dan sepantasnya untuk menuntaskan persoalan ini dengan segala kewenangan dan segala alat-alat negara yang ada.
Penutup
Yakinlah bahwa hari esok akan lebih baik dari hari ini. Demikianlah kiranya iman, pengharapan dan kasih yang seharusnya kita perjuangkan bersama untuk membangun negeri menuju kejayaannya. Dan diantara ketiga hal tersebut, kasih merupakan yang terbesar diantara ketiganya, karena dengan kasih itu pulalah kita akan mampu mengatasi setiap persoalan yang ada tanpa anarkisme dan kekerasan. Dengan demikian, insiden bentrokan FPI dan masyarakat di Sukorejo dan di beberapa daerah lain pada waktu-waktu sebelumnya, pada dasarnya merupakan perpecahan antar anak bangsa yang sangat merugikan bagi pembangunan bangsa dan negara. Padahal musuh bersama kita saat ini adalah kemiskinan dan penderitaan rakyat dalam gerusan liberalisasi yang semakin menjadi-jadi. Maka yang diuntungkan sesungguhnya para kapitalis-kapitalis yang mementingkan diri sendiri dengan mengeksploitasi kekayaan alam kita dan para komparadornya yakni para koruptor.
Maka persatuan menjadi penting, bagi kita untuk mengawal pembangunan yang lebih nyata bagi masyarakat kita. Hendaklah hal ini menjadi kesadaran kita bersama. Menegakan hukum, memberantas korupsi, dan melawan liberalisme, inilah agenda nasional yang lebih penting bagi kita. Semoga saja, agenda itu dapat diawali dengan proses penyelidikan hukum yang sedang berjalan mengenai insiden bentrokan antara FPI dan masyarakat di Sukorejo. Kita berharap momentum tersebut dapat menjadi langkah awal penegakan hukum secara obyektif dan adil. Semoga.
Yogyakarta, 23 Juli 2013.
Oleh: FX. Hengki Parahate
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H