Di suatu tempat pegunungan terpencil tinggallah seorang pertapa tua, ia memilih tinggal di pegunungan itu untuk menyendiri, jauh dari keramaian, jauh dari keluarga, tinggalkan segala kemewahan agar dirinya dapat menghayati dan merefleksikan hidupnya.
Dalam kesendiriannya seringkali pertapa tua itu meninggalkan kediamannya berjalan menelusuri perbukitan, menuruni lembah, menelusuri sungai berjalan dan terus berjalan menikmati keindahan panorama alam disekelilingnya, baginya ini adalah suatu berkat dari sang pencipta yang mempunyai kehidupan.
Suatu hari di musim hujan sang pertapa tua ini berjalan hendak melintasi sebuah sungai, namun dirinya tidak dapat menyebrang karena luapan banjirnya memenuhi sungai tersebut. Di pinggir sungai itu ia duduk sambil menunggu arus sungai reda.
Sepuluh menit, dua pulu menit bahkan sudah satu jam air sungai ini belum juga redah dan derasnya arus air sungai tersebut membuat tanah disekitarnya terkikis dan longsor.
Dengan hati tenang ia menikmati semua kejadian di sekitarnya, dalam lamunanya ia dikagetkan dengan teriakan suara yang meminta pertolong, ia bangkit berdiri sambil mendengar dari arah mana sumber suara itu.
Sambil menguping mendengar suara yang meminta pertolongan, Ia berjalan meninggalkan tempat itu dan terus menelusuri arah sumber suara itu.
Jaraknya belum sampai ratusan meter teriakan suara itu semakin jelas, sang pertapa tua itu kaget ketika melihat sosok lelaki sebayanya terkapar tersangkut diatas sebuah akar pohon besar, dengan serta merta sang pertapa tua itu menghampiri dan menyelamatkannya.
Kondisi sosok lelaki sebayanya itu memperihatinkan, sang pertapa tua itu membawanya kembali ke pegunungan tempat dimana dia tinggal dan di sana ia mengobati semua luka yang ada di sekujur tubuh sang lelaki itu.
Dalam pengobatan sang pertapa tua dan lelaki sebayanya itu banyak bercerita, berdiskusi terkait dengan pengalaman hidup hingga terjadi bencana yang menimpa sang lelaki yang ia selamatkan. Banyak kisah yang mereka sheringkan membuat mereka berdua hanyut dalam lamunan, " oh ternyata kita senasib " tetapi beda dalam jalan panggilan.
Sudah sebulan mereka bersama saling membantu, menyembuhkan luka, di bawa pondok kecil berukuran lima kali empat persegi keduanya saling berbagi pengalaman dan kini saatnya sang lelaki yang ia selamatkan hendak kembali kepada keluarganya, dengan sukacita sang pertapa tua itu menghantarnya kembali melalui sungai di mana ia menyelamatkan sang lelaki sebayanya itu.
Kini pertapa tua itu sendirian menjalani kehidupannya, tidak seorangpun keluarganya yang datang menjenguknya hanya sang lelaki sebayanya yang ia selamatkan itu yang sering datang menjenguk dan membawa makanan, pakaian dan keperluan lainnya hingga sang pertapa tua itu jatuh sakit.