Mohon tunggu...
Hengki Fernando
Hengki Fernando Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Seorang mahasiswa yang hidupnya disibukkan dengan kegiatan dan aktivitas bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengungkap Tabir Diri Politisi: Dekadensi yang Digeneralisir

30 Agustus 2024   04:14 Diperbarui: 30 Agustus 2024   04:41 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut KH Zuhri, politisi bisa diibaratkan seperti petani. Meskipun pekerjaannya seringkali membuatnya kotor dan berlumuran lumpur, peran mereka tetap penting dan mulia. Tanpa petani yang bekerja di tengah lumpur, pasokan beras dan makanan bisa terganggu, yang berdampak pada kebutuhan dasar manusia. Dengan cara yang sama, politisi berperan penting dalam membawa kebaikan bagi masyarakat, meskipun mereka kadang tidak bisa menghindari hal-hal yang "kotor" dalam prosesnya.

Petani tidak harus selalu kotor; ada saatnya mereka bisa kembali bersih. Setelah menyelesaikan pekerjaan bertani, mereka membersihkan diri dari lumpur. Setelah kotor, mereka harus segera membersihkan diri agar bisa kembali ke keadaan yang bersih dan melanjutkan aktivitas di lingkungan yang bersih, bukan lagi di dunia berlumpur. (dikutip dari cerita syaeful bahar di instagram)

BUTA yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik."

"Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri."
Begitu sindir Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman yang hidup di abad ke-19 (1898-1956).

Banyak hal yang membuat kita terjebak dalam situasi jebakan setan, bahkan tidak bisa kembali, mereka yang bercita cita menjadi pahlawan telah menjadi penjahat akibat kenikmatan kekuasaan, tapi apa dengan membiarkan dan apatis? Atau dengan mengatakan politik sekejam itu, jadi jangan masuk ke dalamnya? Kalian bisa terlepas dari kebobrokan? Realita-nya dekadensi yang terjadi pada politisi di generalisir sebagai sarang tumbuhnya jati diri penjahat.

boleh saja kalian panggil saya penjahat, boleh saja kalian sebut saya haus kekuasaan tapi saya selalu ingat pesan gus baha' "Seribu fatwa haram melacur itu masih kalah dengan satu tanda tangan penutupan lokasinya,"

Tapi sekali lagi semoga segelintir kebaikan yang saya berikan menjadi jariyah untuk kebaikan kedepan dan demi kemakmuran bersama

Tunjukkan padaku sebuah keburukan yang tidak mengandung kebaikan di dalamnya, atau sebaliknya. Seseorang yang hendak membunuh tiba-tiba berhasrat untuk berzina, akibatnya dia tidak jadi membunuh. Benar bahwa zina adalah perbuatan tercela, tapi ia menjadi penghalang bagi terjadinya pembunuhan. Pada sisi inilah zina mengandung unsur kebaikan

Jalaluddin Rumi

Wallahu'alam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun