Semarang 23/05/2015
Ajakan kompasiana untuk mengobservasi terkait penerapan konsep smart city di kota tempat tinggalku, yaitu: Semarang telah menghadirkanku suatu pemikiran dan perenungan. Pertanyaan pertama yang timbul adalah "apakah mungkin kota Semarang itu bisa dikatakan smart city?" Sejarah telah bercerita kota Semarang sangat erat kaitannya dengan bencana banjir baik dari luapan sungai ataupun rob air laut. Di era saat ini tahun 2015 nampaknya banjir karena luapan sungai telah diatasi dengan dibangunnya banjir kanal barat serta waduk jati barang di kecamatan Gunung Pati. Kedua infrastruktur terbukti tidak hanya membebaskan semaran dari banjir, tetapi juga menghadirkan suatu destinasi wisata baru, yaitu: Goa Kreo dan Taman Banjir Kanal Barat. Kedapan aliran air dari waduk Jati Barang dapat dimanfaatkan menjadi sumber energi listrik. Suatu potensi luar biasa tentunya yang dimiliki kota Semarang.
Hal tersebut nampaknya belum bisa disambut dengan suka-cita. Banjir di kota Semarang memang telah jauh berkurang, tetapi perlu diketahui setiap kali musim penghujan datang banjir masih saja datang. Bukan karena luapan air sungai. Tetapi karena rob air laut. Berbicara tentang rob di kota Semarang terdapat Semarang. Hal terseubut tidak lain akibat dari reklamasi pantai yang secara alami bertahun-tahun akibat endapan sungai yang kini justru digunakan sebagai pemukiman dan pertokoan sehingga apabila dilihat sejarah. Banjir akibat rob tidak bisa dikatakan banjir karena memang dahulu kawasan tersebut bukan daratan.
Kini penduduk kota Semarang telah tumbuh hingga lebih dari satu juta jiwa. Pemukiman dan perkantoranpun telah banyak berdiri di atas tanah hasil reklamasi secara alami ataupun buatan. Untuk dapat direlokasi hal ini tentu tidak mudah karena hal ini berbicara tentang kepentingan umum. Tetapi mau tidak mau relokasi tetap harus jadi rencana panjang untuk mewujudkan peningkatan kualitas kehidupan. Tidak bisa dipungkiri adanya banjir rob telah menurunkan kualitas hidup masyarakat, seperti: kesehatan, terganggunya pendidikan, dsb.
Kembali lagi diingat tentang konsep smart city yang memiliki sasaran peningkatan kualitas hidup masyarakat serta perluasan lapangan pekerjaan. Atas sasaran tersebut dapat diidentifikasi bahwa penduduk adalah pusat/ sasaran dari penerapan progam smart city.
Keberhasilan kota Semarang menurunkan dampak buruk dari bencana banjir jika tidak tuntas seluruhnya, maka belum dapat dikatakan berhasil. Kota merupakan suatu wilayah sebagai bagian utuh dimana di dalam wilayah terdapat unsur-unsur internal yang saling mendukung dan memiliki arah tertentu.
Semarang Utara yang sering terkena banjir rob merupakan kawasan perdagangan, industri, dan pariwisata. Akibat banjir rob tentu dapat diketahui akibatnya, yaitu: turunya keuntungan yang seharusnya diperoleh sebagai sarana peningkatan kualitas hidup dan masyarakat.
Untuk itu sudah tentu bahwa manajemen terhadap bencana banjir merupakan syarat awal suatu kota dikatakan smart city kedapan. Banjir terbukti menjadi langganan hampir setiap kota di Indonesia. Untuk itu penerapan smart city sudah sepantasnya menekankan indikator manajemen tata kelola banjir sebagai penilaian yang pertama dan utama.
Semarang dalam hal ini harus terus berbenah, berbekal sistem pengaduan masyarakat yang telah terintegrasi dalam sistem informasi pemerintah kota Semarang (www.semarangkota.go.id) itu tidaklah cukup. Permasalahan terkait manajemen kota tidaklah sesingkat arus informasi melalui sarana teknologi. Untuk itu, pemerintah sebagai manajer puncak di kota Semarang sudah sepantasnya menggunakan instrumen kebijakan dan hukum yang dimilikinya untuk menggerakan seluruh elemen kota guna mempercepat laju pembangunan infrastruktur sehingga semarang bisa bebas banjir menuju smart city yang sesungguhnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI