Hukum - Mungkin tidak pernah terbayang oleh Didin (48 tahun)mendekam didalam sel tahanan sebagai pertanggungjawaba atas perbuatan yang dia lakukan, yaitu mengumpulkan cacing sonari dari kawasan hutan. Pertanggungjawaban tersebut tidak lain karena perbuatan Didin memenuhi  kualifikasi pasal 50 ayat (3) huruf m UU 41/ 2010 Jo. Perpu 1/ 2004 tentang Kehutanan.
"mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang."
Terlepas Didin melakukan dengan sengaja ataupun tidak perbuatan tersebut memenuhi kualifikasi dari pasal 50 (3) huruf m UU 41/ 2010 Jo. Perpu 1/ 2004 dan ancaman yang harus dipertanggungjawabkan. Berdasarkan pasal 78 ayat (12) yang berbunyi:
"Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)"
Didin dapat dikenakan ancaman pidana penjalan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak lima puluh juta rupiah setelah terlebih dahulu dipertimbangankan oleh hakim tentang fakta-fakta yang memberatkan atau meringankan. Diluar ketentuan tersebut Didin dalam hal perbuatan pengumpulan yang dilakukan di Hutan tidak menutup kemungkinan dikenakan ketentuan tentang perusakan, terkhusus penebangan dikarenakan secara fakta ditemukan bukti kerusakan berupa pemotongan pohon. Meskipun belum dapat diverifikasi kebenarannya dilakukan oleh Didin. Apabila memang benar Didin dapat dikenalan ketentuan pasal 78 ayat (5) UU 41/ 2010 Jo. Perpu 1/ 2004 yang berbunyi:
"Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)"
dengan waktu penjara dan denda yang lebih besar.
Dari pernyataan Didin yang mengumpulkan cacing untuk tujuan pengobatan hal tersebut merupakan bentuk kearifan lokal dari masyarakat di sekitar kawasan hutan yang seharusnya mendapat perlindungan hukum. Namun, dari segi ketentuan peraturan perundang-undangan hal tersebut tidak dimungkinkan untuk memberi akses kepada masyarakat memasuki dan memungut dalam hal ini satwa dari hutan tanpa izin pihak yang berwenang. Didin dalam hal ini telah terjerat dengan delik yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terlepas dari Didin mengetahui tentang adanya ketentuan tersebut. Namun atas dasar bahwa ketentuan yang telah ditetapkan dalam lembaran berita negara dianggap diketahui dan berlaku sejak tanggal penetapan untuk umum, Didin tidak dapat lolos dari jeratnya.
Sosialiasi dari pengelola hutan dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup melalui struktur organisasinya dalam ini harus lebih getol melaksanakan sosialisasi dikarenakan secara struktur ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus berkembang. Namun, disisi lain masih terjadi disparitas termasuk Didin yang ada kemungkinan belum memahami tentang adanya ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut.
Saran yang dapat saya berikan adalah Didin tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagai bentuk pembelajaran hukum serta konsekuensi dari diberlakukan peraturan perundang-undangan yang harus ditaati. Namun, didin tidak dapat dipersalahkan begitu saja perlu digali tentang motif dan latar belakang pengetahuan yang dimiliki sehingga hukuman yang diterima sifatnya adalah mendidik bukan sebuah balas dendam atau upaya pelekatan penderitaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H