Mahal harga yang harus dibayar untuk mencapai ... Merdeka!
Perjuangan ratusan tahun ... , gugurnya para pahlawan ... tidak akan pernah ternilai. Tentu kemerdekaan yang telah dinikmati selama 72 tahun tidak boleh disia-sia kan.
Aku, sebagai Warga Negara Indonesia "WNI" tentu merasa bersyukur hidup di era saat ini. Kondisi sangat kontras dengan era sebelum kemerdekaan. Tidak ada peperangan (kontak fisik) serta ada jaminan bagi setiap orang akan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok oleh negara.
Namun, masih ada hal yang mengganjal dari negeri ini. Seruan akan ketidak adilan penguasa serta munculnya isu-isu perpecahan. Perpecahan tersebut disuguhkan bagaikan sebuah drama yang ditayangkan kepada publik melalui berbagai media.
Miris atas kondisi ini, mahalnya harga untuk ... Merdeka! Seolah-olah tidak berarti lagi. Perlu diingat bahwa dasar dicapai kemerdekaan adalah persatuan dan kesatuan dimana dengan dasar tersebut politik divide ad ampera(politik adu domba) yang digunakan pada masa kolonialisme tidak lagi mempan membendung negeri ini mencapai kemerdekaan pada 17 Agustus 2017.
Sebagai pribadi, saya tidak menginginkan isu-isu perpecahan yang muncul belakangan ini menjadi besar. Namun, tentu sebagai pribadi timbul rasa bingung harus memulai dari mana dan menggunakan cara apa? Karena Indonesia sekarang merupakan sebuah sistem berbeda dengan era sebelum kemerdekaan dimana dalam mengemukakan pendapat di era saat ini terdapat aturan-aturan yang apabila tidak berhati-hati dapat berbuah sanksi hukum.
Namun, saya kembali teringat kesuksesan sejarah kemerdekaan dari bangsa ini adalah "Literasi". R.A Kartini, Ir. Soekarno, Mohammad Hatta serta sederet tokoh nasional paska pergerakan nasional merupakan salah satu kunci terwujudnya kemerdekaan di Indonesia. Nah, saya berpikir bahwa "literasi" adalah jalur yang tepat pula untuk saya pilih dalam mengisi kemerdekaan mengatasi masalah disintegrasi. Literasi memang hal yang sederhana, namun dampaknya berganda, apalagi didukung oleh wadah yang tepat semisal blog dalam hal ini melalui "kompasiana.com" yang menawarkan sisi interaktif dengan sesalam blogger sesama penggiat literasi.
Literasi = kegiatan baca tulis, menjadi kegiatan yang kuminati sejak duduk di bangku sekolah dasar. Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) menjadi favorit karena memberikan saya wawasan tentang hal-hal berkaitan dengan kehidupan masyarakat yang kemudian menjadi dasar saya menjadi seorang praktisi hukum berlatar belakang pendidikan (Strata 1 Ilmu Hukum).
Hukum merupakan hal yang menarik bagi saya. Saya memiliki harapan dengan menguasai hukum, saya dapat berkontribusi bagi negeri ini. Setidaknya, saya dapat berbagai kepada masyarakat di lingkungan terdekat. Saya melihat masyarakat pada umumnya cenderung memandang hukum sebagai hal yang rumit, identik dengan teori dan buku-buku tebal sehingga orang cenderung menghindar bahkan hanya untuk menambah wawasan tentang hukum. Ditambah dengan kasus ketidakadilan di negeri ini, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme tiada henti.
Jaksa, hakim merupakan tujuan saya setelah saya meraih gelar S1, namun itu bukanlah hal yang mudah dan tidak semua orang dapat mencapai hal tersebut. Tentu pesimis adalah hal yang saya rasakan pertama kali, karena mengingat sedikitnya ketersedian lowongan dibanding dengan jumlah peminat.
Namun, itu tidak berlangsung lama karena saya akhirnya menyadari bahwa menjadi praktisi hukum yang berperan bagi bangsa dan negara tidak melulu harus menjadi pejabat negara (aparatur negara). Namun dapat dilalui berbagai cara.