Kita sudah menerima prinsip bahwa kesejahteraan suatu bangsa tercipta dari kesejahteraan keluarga-keluarga yang membentuk bangsa itu. Dan kesejahteraan suatu keluarga tercipta ketika hubungan-hubungan antar anggota keluarga itu berjalan sesuai hukum-hukum yang ditetapkan Tuhan maupun hukum-hukum sosial yang berkembang menurut keadaan zaman.
Nah, menyangkut hubungan antar anggota keluarga, hubungan terpenting adalah hubungan antara suami dan istri, karena pada inilah bergantung kesejahteraan seluruh keluarga dan dalam jangka panjang kesejahteraan seluruh bangsa. Kaidah pertama yang ditetapkan Allah dalam kaitan ini adalah: dasarkan hubungan ini terutama pada pertimbangan-pertimbangan akhlak, bukan pada pertimbangan-pertimbangan kecantikan, kekayaan, atau keturunan.
Allah memperingatkan anda yang hendak menikah untuk mempertimbangkan pengaruh apa akan dimiliki perkawinan tersebut atas kesucian hidup anda, dan warisan macam apa dalam bentuk anak yang mungkin ditinggalkannya. Rasulullah saw. bersabda, ‘Sebagian orang menikah karena kecantikan, lainnya karena keturunan, dan lainnya karena kekayaan, tetapi kamu harus menikahi wanita saleh dan bertakwa.’ (Bukhari, Kitab-al-Nikah)
Ini saja seharusnya menjadi dasar sejati dari perkawinan, dan jika ini tidak diingat dalam pemilihan jodoh, hubungan suami-istri tidak mungkin berjalan mulus dan anak-anak dari perkawinan itu bisa menderita. Kualitas-kualitas akhlak dan intelektual dari kedua orangtua membekas pada anak-anaknya. Ini telah banyak dilukiskan oleh kajian eugenics. Meskipun kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh para peneliti eugenics tidak selalu bebas dari pembesar-besaran, tidak mungkin ada keraguan bahwa mutu-mutu akhlak dan intelektual orangtua sedikit banyak tecermin pada anak-anak mereka.
Karena itu, pemilihan suami atau istri menjadi suatu perkara amat penting. Karena itu, kaidah pertama yang ditetapkan Allah adalah: dalam pemilihan jodoh beri bobot yang lebih besar pada kualitas kepala (otak) dan hati daripada pada keadaan-keadaan luar yaitu penampilan, kekayaan atau keturunan. Allah tidak mencela tiga faktor terakhir ini, tetapi mereka tidak boleh menjadi dasar utama perkawinan. Bila anda tertarik kepada lawan jenis karena ketakwaan, akhlak-akhlak, dan kecerdasannya dan, pada saat yang sama, dia tidak kekurangan dalam penampilan, kekayaan, dan pangkat, perkawinan anda berdua akan teberkati berlipat ganda; namun kecantikan, kekayaan, dan keturunan, dalam sendirinya, bukanlah jaminan kebahagiaan yang langgeng.
Seandainya semua perkawinan didasarkan pada prinsip ini, akan segera ada suatu revolusi akhlak di dunia, dan keturunan dari perkawinan-perkawinan macam ini akan jauh lebih terbuka pada disiplin dan pengembangan akhlak dan rohani.
Suatu tindak pencegahan lebih lanjut yang diperintahkan Allah adalah bahwa, bukan hanya pihak-pihak pada suatu rencana perkawinan perlu saling memuaskan dalam hal kebaikan-kebaikan mereka masing-masing, tapi kerabat dari pengantin wanita harus juga memuaskan diri bahwa calon pengantin pria akan merupakan suami yang tepat bagi si pengantin wanita dan ayah yang baik dari anak-anaknya.
Salah satu syarat perkawinan Islami adalah: dapatkan persetujuan dari pihak-pihak yang terlibat dan juga persetujuan dari wali pengantin wanita. Jika dia tak mempunyai bapak atau saudara lelaki atau kerabat lelaki dekat lain yang masih hidup, yang bisa bertindak sebagai walinya untuk perkawinan itu, persetujuan dari wali hakim harus diperoleh, dan hakim ini harus meyakinkan diri bahwa tiada kecurangan atau penipuan sedang dilakukan atas pengantin wanita.
Wanita diberi perlindungan istimewa ini, sebab dia oleh fitrat dan tabiatnya lebih lembut dan emosional daripada pria dan tidak bisa sendiri melakukan penyelidikan tentang calon suaminya dengan kemudahan yang sama seperti si calon suami bisa mencari tahu segalanya tentang si wanita. Selain itu, karena wanita lebih bisa dibuat terkesan daripada pria, dia lebih rawan menjadi korban penipuan. Karena itu, hukum mengharuskan persetujuan walinya, atau wali hakim, terhadap perkawinannya. Seandainya persetujuan macam ini didesakkan dalam setiap kasus, kita tidak akan banyak mendengar para wanita yang terhormat dan tidak menaruh curiga dijadikan korban penipuan oleh para petualang jahat.
Walaupun Allah tidak mengizinkan pergaulan bebas antar-lawan jenis, Dia membolehkan sepasang tunangan untuk melihat satu sama lain, sehingga mereka bisa memuaskan diri tentang penampilan masing-masing. Jika mereka saling setuju, pernikahan bisa berlangsung.
Allah mensyaratkan suatu pembayaran perkawinan atas istri pada waktu pernikahan. Ini salah satu rukun/pilar perkawinan Islami. Pembayaran itu disebut Mahar atau maskawin. Tujuan Mahar adalah agar si istri memiliki posisi pemilikan mandiri, dan agar bebas untuk membelanjakan dalam derma atau memberi kado kepada para kenalannya, dll., dari harta miliknya sendiri. Lembaga Mahar adalah suatu pengakuan praktis oleh si suami atas posisi pemilikan mandiri dari si istri dan haknya untuk memelihara dan memperoleh harta milik terpisah yang atasnya si suami tidak berkuasa.