Masyarakat di mana pun, secara garis besar terdiri atas dua golongan yaitu "jelata" (wong cilik) dan golongan "elit" (priayi). Yang jelata memiliki perekonomian menengah ke bawah, sebaliknya yang elit menengah ke atas. Kedua golongan ini pun memiliki kebudayaannya masing-masing, misalnya dalam hal bergaul, berkomunikasi, gaya hidup, semangat kerja dan wawasan akan dunia luar.
Termasuk respons terhadap budaya lain di luar budayanya sendiri, golonga elit mungkin lebih mudah menerima perubahan dibanding golongan jelata yang cara pandangnya seringkali sempit. Sering ada yang bilang golongan jelata itu "kolot".
Bila meminjam istilah Robert Kiyosaki, dalam bukunya Rich Dad---Poor Dad, Robert Kiyosaki menyebut dua golongan ini sebagai "ayah kaya" dan "ayah miskin". Ayah kaya pastilah mewakili golongan elit, sedangkan ayah miskin pastilah mewakili golongan jelata, namun ini lebih kepada perbedaan cara pandang terhadap uang. Perbedaannya pun sangat tajam, misalnya saja:
Ayah miskin: Uang adalah akar dari kejahatan,
Ayah kaya: Kekurangan uang adalah akar dari kejahatan.
Ayah miskin: Belajarlah dengan baik, carilah nilai tinggi, luluslah dan dapatkan pekerjaan bagus dengan gaji tinggi,
Ayah kaya: Belajarlah dengan baik, carilah nilai tinggi, luluslah, bangun usahamu sendiri dan pekerjakan orang-orang pandai.
Ayah miskin: Bekerja untuk mencari uang,
Ayah kaya: Buatlah uang bekerja untukmu.
Ayah miskin: Rumah saya adalah aset saya,
Ayah kaya: Rumah saya adalah beban.
Ayah miskin: Saya tidak bisa kaya karena saya punya banyak tanggungan,
Ayah kaya: Saya harus kaya karena saya punya banyak tanggungan.
Masih banyak contoh sebetulnya, tapi lima saja sudah cukup untuk menggambarkan perbedaan antara "ayah kaya" dan "ayah miskin". Tentu pembaca yang sudah pernah membaca buku ini akan sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca, karena pendidikan tentang uangnya bagus sekali, pembaca akan dibukakan soal aset dan liabilitas.
Rich Dad---Poor Dad adalah salah satu buku yang banyak menginspirasi orang-orang di dunia bisnis, mereka yang berkecimpunga di bisnis MLM, atau yang biasanya yang sangat identik dengan kalimat "Anda mau sukses? Anda mau punya penghasilan 100 juta/bulan". Buku ini menjadi kitab sucinya mereka di samping kitab suci Alquran, Alkitab, Weda, dan Tripitaka. Kalau tidak percaya silahkan tanya saja salah seorang dari mereka yang penghasilannya yang baru dua digit.
Anda mau sukses dan punya penghasilan 100 juta/bulan? Saya tidak sedang menawarkan MLM atau asuransi kepada Anda.
***
Menurut Anda, sukses itu apa?
Jika kita mau apply beasiswa S2 atau lamaran kerja di sebuah perusahaan, biasanya kita selalu ditanya tentang sukses terbesar dalam hidup ita. Pertanyaan ini sulit sekali untuk dijawab. Jangankan 4 halaman folio, 1 halaman pun sulit untuk menulisnya.
Apa sukses terbesar Anda?
Apakah sukses hanya sebatas memiliki uang yang banyak? Pasti tidak. Sukses tidak boleh disempitkan maknanya hanya dengan memiliki uang banyak, karena ada sesuatu yang tidak mampu dibeli dengan uang.
Penulis mencoba menuliskan beberapa hal terkait kesuksesan.
- Memiliki penghasilan besar?
- Memiliki pekerjaan dan jabatan yang mantap?
- Memiliki istri cantik/ suami tampan yang baik?
- Memiliki anak-anak yang taat dan berprestasi secara akademik?
- Memiliki rumah mewah?
- Memiliki mobil sport?
- Memiliki kesehatan?
- Memiliki perpustaan pribadi dengan buku-buku favorit?
- Memiliki kebebasan/ waktu luang?
- Memiliki keluarga yang harmonis?
- Memiliki rasa aman?
Silahkan Anda mendefinisikan kesuksesan menurut versi Anda.
Ayah miskin selalu berpatokan pada uang, lebih tepatnya pemikiran orang miskin---golongan jelata. Coba lihat saja bagaimana masyarakat kita saat ini, apakah uang menjadi satu-satunya ukuran dalam berbagai hal? Mayoritas masih begitu. Pertemanan berdasarkan uang, pacarana berdasarkan uang, kekerabatan di dalam keluarga besar berdasarkan uang (No money no family).
Ingatlah hidup itu tidak selamanya. Durasi hidup itu sangat singkat. Uang hanyalah salah satu unsur saja dalam sebuah kata sukses. Ada uang tapi kehilangan kesehatan, maka itu tidak sukses. Terbaring di rumah sakit selamanya dengan rekening penuh uang, itu namanya kegagalan total. Keluarga tiap hari ribut, cekcok dan anak melawan orang tua, itu jauh dari kata sukses. Bila satu unsur saja tidak terpenuhi, seperti hal-hal yang telah disebutkan di atas, maka seseorang pasti tidak merasa dirinya sukses (malah gagal) walaupun kacamata orang lain melihatnya telah sukses.
Ya, uang tidak dapat membeli kebahagiaan, setuju kan? Uang tidak bisa membeli kebahagiaan---tetapi itu membantu (Money can't buy happiness, but it sure helps!).
Yang lain mengatakan bahwa "Yes, money can't buy happiness, but it's more comfortable to cry in a BMW than on a bicycle." Â Argumen ini tidak salah juga, kalau nangis di lihat orang kan malu, nangis di dalam mobil lebih enak, lebih bebas dan tidak kuatir dilihat banyak orang. Kelimpahan bagaimanapun selalu lebih baik daripada kekurangan. Uang hanyalah salah satu syarat dalam mencapai kesuksesan.
***
Berkaitan dengan kesuksesan, apa yang sudah kita capai di tahun 2019?
Seberapa banyak proyek kita yang telah terealisasi?
Seorang teman berkata "Uang kan tidak dibawa mati". Penulis sangat setuju, namun pertanyaan di atas, "Apa yang sudah kita capai di tahun 2019" bukanlah untuk tahu berapa banyak uang atau materi yang telah dihasilkan. Tetapi sebaliknya itu untuk jadi bahan evaluasi kita di tahun 2019.
Uang memang tidak dibawa mati, tapi dengan adanya pencapaian-pencapaian (materi/ nonmateri), itu berarti kita telah berbuat sesuatu di sepanjang tahun 2019. Tahun ini tidak berlalu dengan sia-sia walau banyak target kita yang tidak tercapai. Setidaknya kita telah berbuat semampunya, kalau tidak maksimal, sekali lagi itu untuk bahan evaluasi.
Walau penghasilan kita belum mencapai 100 juta/bulan, walau di rumah rasanya seperti di medan perang, walau kendaraan kita masih keluaran lama, pekerjaan juga masih begitu-begitu saja, atau sering di marah pimpinan. Coba pikirkan hal-hal lain yang telah berhasil kita lalui, yang sederhana saja. Melihat kelucuan anak-anak kita, melihat senyuman orang-orang yang kita bantu, melihat kompaknya keluarga kita, dan sebagainya---melihat kebaikan-kebaikan kecil.
Sebentar lagi tahun 2019 akan berakhir. Apa yang sudah terjadi di tahun ini sudah tidak bisa diperbaiki, apa yang manis/ pahit semuanya akan menjadi kenangan, sukses/ gagal juga menjadi pengalaman, buku panjang 365 hari ini akan kita tutup dan kita masukkan ke dalam rak sejarah. Kita segera akan memulai yang baru di tahun 2020 yang masih misteri. Buku itu masih terkunci rapat di dalam rak, baru kita lirik-lirik.
Sebagai persiapan kita memasuki tahun yang baru, mungkin kita perlu merumuskan ulang definisi sukses kita, agar kita lebih bijak. Kita bisa menakar kemampuan kita dengan hasil yang mungkin kita bisa capai di tahun 2020. Jangan kita memaksakan sesuatu untuk cepat, sedangkan prosesnya panjang, karena nanti bisa prematur.
Sekali lagi, Apa yang sudah kita capai di tahun 2019 ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H