Mohon tunggu...
Hendy Adinata
Hendy Adinata Mohon Tunggu... Freelancer - Sukanya makan sea food

Badai memang menyukai negeri di mana orang menabur angin | Email: hendychewadinata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Komentar dari Penonton Film "LIMA"

1 Juni 2018   17:49 Diperbarui: 2 Juni 2018   11:21 1682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Malam tadi penulis bersama rekan-rekan sepelayanan menyempatkan diri untuk menonton film LIMA di bioskop. Rencana untuk nonton sudah kami atur beberapa hari yang lalu berawal ajakan dan trailer yang dikirim oleh seorang pembina kami lewat media sosial.

Saat melihat trailer dan membaca sinopsisnya, penulis pribadi sangat terkesan dengan film yang digarap oleh lima sutradara dalam negeri ini, yaitu: Lola Amaria, Shalahuddin Siregar, Tika Pramesti, Haryan Agustriansyah dan Adriyanto Dewo. Ceritanya film LIMA ini dibuat untuk menyambut Hari Kelahiran Pancasila tanggal 1 Juni.

Melalui tulisan singkat ini, penulis mau berkomentar beberapa hal yang penulis dapatkan selama menyaksikan film drama yang diberi judul 'LIMA' ini:

Pertama

Sangat disayangkan bahwa peminat dari film ini jumlahnya tidak banyak. Dalam satu teater hanya belasan orang saja yang menonton yang isinya 95 % adalah penulis dan rekan-rekan. Mungkin dikarenakan promosi yang kurang gencar dan harus berhadapan dengan film-film seperti 'Deadpool 2', '211', dan 'SOLO: A Stars Wars Story'.

Sebelumnya penulis telah mengajak beberapa teman untuk ikut bergabung, tapi respon yang didapati masih seperti umumnya masyarakat kita, "Film Indo ndak bagus, aku ndak mau nonton film Indo. Buang-buang waktu." Respon semacam ini terlalu menggeneralisasikan bahwa semua film yang diproduksi oleh anak negeri pasti jelek. Padahal kalau kita mau melihat film-film seperti 'Laskar Pelangi', 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk', 'Doea Tanda Cinta', 'Cek Toko Sebelah', dsb. Ini adalah film-film yang kontennya sangat bagus dan kaya akan pesan moral.

Penulis juga sangat menyayangkan film ini hanya boleh ditonton orang yang usianya diatas 17 tahun. Padahal anak remaja di bawah 17 tahun perlu film seperti ini dan mendiskusikan kontennya.

Penulis dulunya adalah salah satu dari orang-orang di atas, solusi yang dapat dicoba adalah mentraktir orang-orang semacam ini untuk nonton film 'Indo yang bagus'. Jadi mereka tidak berpikir dobel rugi (uang dan waktu) tapi mempertimbangkan ajakan. Ketika mereka dapat tayangan yang kontennya bagus, mereka akan lebih membuka diri terhadap film Indo, maksudnya 'film Indo yang bagus'.

Penulis juga sangat menyayangkan di daerah yang budaya nonton dan bacanya masih kurang, harga nonton ini sangat tinggi. Harusnya film-film semacam ini bolehlah mendapat subsidi dari pemerintah, sehingga film bisa menyentuh masyarakat di lapis bawah. Perubahan mindset kea rah yang lebih baik lebih penting daripada sekedar untung.


Kedua

Dalam hal peran, ada sedikit hal yang terasa mengganjal bagi penulis yaitu sosok Adi yang dari awal cerita digambarkan sebagai seorang anak yang baik. Namun dalam suatu adegan terlihat sosok Adi yang merokok. Di bagian ini penulis benar-benar terkejut dan bertanya-tanya mungkinkah Adi sedang depresi, atau Adi adalah anak yang 'nakal'? Kenapa tidak dibuat sosok Adi yang lebih aut-autan setelah kejadian pembakaran maling? Dengan adanya adegan ini, runtuhlah semua kesan baik penonton terhadap Adi.


Ketiga

Sila Pertama yang berangkat dari konflik perbedaan agama dan tata cara penguburan sang ibu oleh Fara, Aryo dan Adi penulis acungi jempol. Salah satu keributan yang sering terjadi di dalam keluarga yang memeluk agama yang berbeda adalah soal penguburan. 

Penulis menggambarkan sedikit bagian ini. Sang ibu yang sudah menjadi seorang muslim oleh Fara diharuskan mengikuti tata cara penguburan sesuai cara Islam, Aryo dan Adi yang Kristen dalam beberapa hal tidak setuju dengan cara sang kakak misalnya Adi menolak melepas gigi palsu sang ibu karena perminataan sang ibu sendiri sebelum ia meninggal, oleh Fara harus dilepas.

Kutek kuku harus dibersihkan, karena sang ibu 'harus bersih seperti pada saat ia lahir' dan setelah jenazah disholatkan maka kedua adiknya yang nasrani tidak boleh menyentuh jenazah sang ibu termasuk Aryo yang ingin sekali turut serta dalam penguburan sang ibu karena katanya 'haram.' Aryo menjawab "Yang mau dikuburkan itu orang atau agama sih?"

Konflik ini diselesaikan dengan damai, gigi palsu tetap terpasang dengan pertimbangan rasa bakti kepada orang tua, dan Aryo diberi kesempatan untuk turut serta dalam menguburkan jenazah sang ibu.

Selesainya konflik ini melalui pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan yang dibangun atas relasi persaudaraan. Seperti kalimat Fara dalam pemakaman sang ibu "Tidak apa Aryo ikut, nanti dosanya saya yang tanggung."

Sila Kedua membukakan kepada kita bahwa sebenarnya masih sering dan banyak praktek yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaan. Pembullyan, penghinaan oleh sesama manusia dan adanya aksi main hakim sendiri yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berwenang sebetulnya (bukan lembaga peradilan).

Adi yang tanpa sengaja dalam perjalanan pulangnya mengalami peristiwa di mana seorang maling dibakar hanya lantaran mencuri map (untuk biaya pendidikan?). Adi berusaha menghalangi pembakaran itu namun gagal. Setelah berlalunya peristiwa itu, Adi sebagai saksi mata diminta untuk mengungkap identitas para pelaku, tapi dia takut karena salah satu pelakunya adalah teman sekolah Adi. Kalimat seorang bapak penyidik kepolisian telah menyadarkannya "Kalau kamu diam, kamu sama saja dengan berpihak kepada ketidakbenaran," Adi pun memberi keterangan.

Celoteh seorang teman Adi, "Diam itu emas bulshit, itu tindakan cari aman sendiri yang sebenarnya juga tidak baik, ..."


Keempat

Sila Ketiga mengangkat isu tentang SARA. Fara yang bekerja sebagai pelatih renang diminta oleh pemilik klub renangnya untuk mengutus Andre yang dikatakan sebagai 'orang kita' (pribumi) mewakili Indonesia dalam Pelatnas, padahal Kevin secara kemampuan berada di atas Andre. Tidak dipilihnya Kevin dikarenakan Kevin bersuku Tionghoa (nonpribumi katanya).

Sayang sekali perdebatan mengenai kelompok 'nonpribumi' yang mau berkarya bagi bangsa ini tidak dibuat alot dan sengit. Logika berpikirnya masih ditataran orang tersebut berkualitas. Coba argumen yang disajikan itu didukung dengan nilai-nilai agama, filsafat, nilai nasionalisme, dsb. Singkatnya diajak berpikir dengan wawasan yang luas agar penonton dapat sadar.

Walaupun nilai-nilai beragama telah dibahas dalam Sila Pertama, tidak salah apabila nilai-nilai spiritual ditambahkan ke dalam argumen Fara.  "Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu." (Yeremia 29:7)


Kelima

Sila Keempat mengangkat isu pembagian harta warisan Masyam di mana Aryo bertindak sebagai pemimpin. Konflik keluarga terjadi di sini, tetapi penyelesaiannya terjadi terlalu dini (premature). Tingkah seorang notaris yang menggambarkan kita pada umumnya menjadi humor yang diselipkan dalam adegan ini (melirik makanan di atas meja, menyolot pembicaraan orang, dsb). 


Keenam

Sila Kelima mengangkat isu tentang keadilan, di mana pencuri 3 buah kakao di samakan mencuri 3 ton. Beginilah wajah penegakan hukum di Indonesia yang ingin diungkapkan  dalam adegan ini. Tapi penyelesaian dari kasusnya tidak diketahui, bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara juga tidak dipaparkan. Tidak jelas.

Alur dari film LIMA sangat mudah untuk ditebak, tidak ada sesuatu yang membuat penonton menjadi panik, kalau geram mungkin ada pada sesi penguburan dan sidang. Plot berjalan tanpa terkendala, mulus-mulus saja tanpa hambatan dan belokan, cerita kurang diberi warna.

Masalah belum mumet solusi sudah datang, harusnya masalah dibuat berat dan kompleks agar penonton dapat dihanyutkan dalam permasalahan yang ada dan suasana kebatinan para tokohnya dapat. Agar lebih berkesan.

Mungkin suasana dan perdebatan yang kompleks memang sengaja dihindari agar konten mudah dimengerti oleh semua kalangan penonton. Sepertinya film LIMA hanya memberikan sentilan-sentilan kecil dengan mengangkat peristiwa sehari-hari. Mungkin karena film ini harus kejar jam tayang, jadi garapannya kurang maksimal?

Bagi pembaca yang sudah nonton, filmnya mungkin terasa kurang greget, tetapi marilah kita memberikan apresiasi terhadap film ini karena film ini merupakan salah satu usaha yang patut diapresiasi. Penulisi juga merekomendasikan film ini kepada pembaca sekalian yang belum nonton.

Titip pesan dari seorang Pembina, "Mereka sudah berkarya dengan sedapatnya, apa karya kita?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun