Ramainya euforia dalam pemilihan capres-cawapres semakin terasa. Euforia tersebut bukan hanya melanda dunia nyata melainkan dunia maya pula. Satu contoh, tiliklah beranda Facebook yang penuh dengan rekan yang saling membagi tautan maupun komentar mengenai berita baiknya capres pilihannya dan buruknya capres lawannya. Grup-grup media komunikasi lain (Whatsapp, BBM, Telegram, dan sebagainya) tak luput oleh fenomena serupa—malah dengan perdebatan semakin sengit mengiringi. Di bawahnya beragam komentar memenuhi—baik pendukung atau pun lawan. Bahkan euforia di dunia maya melebihi dunia nyata.
Momen pemilihan presiden ini merupakan salah satu kesempatan melihat pengaruh dunia maya pada kehidupan manusia. Namun, beberapa aktivitas di dunia maya tersebut tampak berlebihan dan berpengaruh negatif pada dunia nyata. Beberapa rekan terlibat dalam debat hingga hancurnya relasi persaudaraan menjadi sebuah contoh pilu.
Dan, bila kita memantau media sosial terus, perlahan-lahan kita dapat mengindentifikasi apa yang tersebut sebagai aktivis sosial media. Y. Tandyanto, pakar filsafat, menyebutkan bahwa aktivis sosial media terdiri dari orang-orang yang frustasi dengan perannya dalam dunia nyata. Frustasi dimaksud bukan berarti orang tersebut merupakan manusia ‘lumpuh’ yang tanpa peran bermasyarakat. Saya mengartikan bahwa orang tersebut memang memiliki kehidupan normal di dunia nyata—memiliki keluarga atau pekerjaan atau sedang menempuh sekolah—namun memiliki suatu obsesi terpendam dalam batinnya.
Obsesi tersebut bisa berupa apa saja. Obsesi ini merata dalam berbagai bidang. Bisa jadi orang tersebut berobsesi dalam politik sehingga selalu berkomentar dan berusaha terdepan dalam pandangan politik. Namun, tidak terbatas dalam dunia politik. Orang tersebut dapat memiliki gambaran ideal soal kehidupan rohaninya, pacarannya, olahraga, serta bidang-bidang lainnya. Namun ia tidak mendapati ideal tersebut dalam kehidupannya. Dunia nyata kompleks dan sulit menggapai cita-cita—perlu usaha lebih. Oleh karena itu, ia berlaku seolah-olah memiliki ideal tersebut dan menelurkannya di dunia maya.
Sekarang, aktivis dunia maya tidak hanya muncul lewat tulisan. Kini mereka telah muncul dengan berbagai bentuk. Bisa dengan bentuk foto, mereka publikasi foto mereka dengan berbagai macam gaya dengan perasaan ‘dag dig dug’ akan komentar orang lain. Bisa juga, mereka secara berkala menunjukkan keberadaan mereka di kafe terkenal atau penjahit terkenal atau tempat terkenal lainnya untuk menunjukkan kelas hidup elit mereka. Ya, mereka mungkin tidak benar-benar hidup dalam kelas tersebut namun dengan publikasi tersebut menunjukkan seolah-olah berada dalam kelas hidup elit tersebut.
Awalnya gejala ini bisa muncul dari keinginan berbuat sesuatu di dunia nyata. Namun dunia nyata dengan kekompleksannya membuatnya sulit terwujud. Akhirnya, dunia maya menjadi pilihan atau kesempatan untuk mencapai yang terpendam. Namun, oknum-oknum tersebut terjebak dalam aktualisasi diri berlebihan. Akhirnya peran di dunia maya cenderung mencari pengakuan atau pun menunjukkan citra diri idaman.
Lama kelamaan, dunia maya menjadi tempat orang mencoba mengaktualkan dirinya sesuai dengan impiannya. Dunia maya akhirnya membuatnya kebablasan masuk terlalu dalam di pikirannya. Tanpa disadari, dunia maya menggantikan dunia nyata. Orang-orang tersebut menghabiskan banyak waktu untuk terlibat di dunia maya. Tidak hanya itu, orang-orang tersebut mencurahkan segala pikirannya dalam dunia maya. Akhirnya, kehidupan dunia nyata tidak terjalani dengan maksimal.
Inilah pengaruh negatif bagi aktivis sosial dunia maya. Dampak paling akut adalah kala dunia maya telah menjadi tempat hidup sebenarnya—setidaknya bagi pikirannya—daripada dunia nyata. Orang tersebut mulai tidak terlalu peduli dengan lingkungannya dan menganggap apa komentar orang lain terhadap foto atau tulisannya serta tanggapan lanjut darinya adalah utama.
Orang tersebut bisa jadi menjalani suatu kegiatan atau ke suatu tempat yang menyenangkan namun hanya menunjukkan ke orang-orang di dunia maya suatu citra baru darinya. Di pikirannya, dunia maya telah mendapat tempat terpenting dalam hidupnya. Perannya di dunia maya adalah tujuannya dalam menjalani hari—lebih utama dari peran lainnya. Orang-orang tersebut bisa menjalani suatu aktivitas di dunia nyata namun dunia mayalah pikirannya. Orang tersebut bisa benar-benar bersama seorang atau beberapa teman namun aktivitas sosial medialah yang diakrabinya.
Selain itu, para ‘jemaat’ lain di dunia maya pun dapat jenuh dengan kemunculan si aktivis sosial media. Akibat kejenuhan ini, aktivis sosial media bukannya mendapat kesan positif dalam kemunculannya di dunia maya.
Sebaliknya, ia akan mendapat kesan negatif dan menimbulkan rasa ‘malas’ orang lain terhadap dirinya.