Judul di atas merupakan sebuah lontaran dari seorang pengawai kelurahan di sebuah tempat di Sumatera Utara kepada Ibu saya. Ceritanya begini:
Ibu mendatangi kantor kelurahan untuk ketiga kalinya perihal pengurusan A5 untuk mutasi tempat pemilihan saya. Sejak kedatangan pertama sekali, Ibu saya hanya menerima sikap dingin dari para petugas kelurahan. Untuk kedatangan pertama pada 12 Juni 2014,setelah menyampaikan maksudnya, Ibu saya mendapat jawaban, “Datang setelah hari Senin!”
Ibu kembali datang pada 17 Juni 2014. Begitu melihat Ibu, si petugas yang sama menjawab tanpa Ibu saya berkata apa pun, “Belum ada. Datang saja besok atau lusa lagi!” Ibu saya yang berberat badan 42 kg dengan penyakit jantung, asam urat, kaki sakit, dan badan lemas kembali berjalan sekitar setengah jam kembali ke rumah. Saya mengatakan, “Sudah ma. Tidak usah saja. Saya tidak usah pemilu saja. Daripada mama repot.” Ibu menjawab, “Tidak apa. Selagi ibu bisa membantu. Ibu kan sudah lama tidak mengurusi anak sendiri. Kali ini ada begini, ibu merasa berguna lagi buat kamu.” Saya membiarkan.
Kali ketiga, Ibu datang kembali pada 24 Juni 2014. Kali ini, si pegawai kelurahan memberikan sedikit usaha. Walau dengan wajah ketusnya. Dia menelepon. “Hei, gimana ini? Si Cina mau pemilu. Uda datang berapa kali.” Setelah menyelesaikan teleponnya, beliau menjawab Ibu. “Datang saja setelah senin. Orangnya sibuk minggu ini.” Ibu kembali pulang.
Saya akhirnya mendapat cerita. Ibu berkata, “Kok kita masih dapat diskriminasi ya. Padahal kalau orang pribumi yang datang, pegawainya bisa bersikap ramah.” Saya hanya menjawab, “Sabar ma,” sembari saya sedih. Beberapa hari kemudian, saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa A5 dapat diurus di tempat memilih. Dengan surat RT/RW, saya mengurus ke KPUD di daerah saya dan selesai dalam waktu 15 menit.
Tujuh tahun lalu
Saya teringat tujuh tahun lalu, 2007. Saya masih berkuliah di Institut Teknologi Bandung. Bulan Desember, saya menaiki bis selama 4 hari 3 malam menuju kota lahir saya. Saya berniat mengurus perlengkapan beasiswa saya. Saya pun menuju kantor kelurahan. Pada saat itu, ayah saya sakit keras sehingga kami memang tidak punya penghasilan. Biaya hidup kami mendapat subsidi dari tante saya.
Demi beasiswa dan kelanjutan kuliah, saya menuju kantor kelurahan. Di kantor kelurahan,
Saya: “Bu, saya anak dari Bapak X yang tingal di Jl. XXX. Saya hendak mengurus surat keterangan tidak mampu untuk pengajuan beasiswa”
Ibu Kelurahan: “Bohong! Saya tau orang Cina itu bagaimana. Anaknya adik saya juga nikah sama orang Cina. Saya tahu biaya hidup orang Cina itu besar. Sudah jangan nipu saya bilang ngak mampu mau kuliah. Saya tahu orang Cina itu bagaimana. Licik”
Saya: “Bu, kenapa Ibu bawa suku? Saya benar-benar sedang tidak mampu. Ayah saya sakit dan tidak bekerja. Ibu bisa cek ke rumah.”
Ibu: “Halah. Kalian mah banyak bohongnya. Ibu sudah sekian tahun kerja di sini. Tau banget orang Cina itu bagaimana. Sudahlah orang Cina mah kaya.”
Saya marah dan kesal. Namun saya berusaha sabar karena takut keluarga saya dipersulit untuk ke depannya. Saat itu, saya merasa belum menjadi apa pun untuk membela diri. Akhirnya Ibu tersebut dengan inisiatif sendiri membuat surat keterangan dengan penghasilan orang tua saya sebesar Rp. 5.000.000,- (menurut asumsi Ibu tersebut minimal beginilah besar penghasilan minimal orang Cina). Dan, saya disuruh membayar Rp. 50.000,- sebagai ongkos pembuatan surat tersebut. Saya keberatan. Namun, Ibu tersebut malah bersuara keras mengulang kembali betapa makmurnya orang Cina. Saya mengalah. Saya bayar dan segera meninggalkan tempat tersebut.
Di perjalanan pulang, saya sedih sekali. Saya merasa tidak berdaya padahal sanubari tidak tahan untuk melawan. Kala itu, saya berpikir melapor polisi atas penghinaan. Kemudian saya kembali takut dan berpikir akan kalah. Dengan surat tersebut, saya gagal mendapatkan beasiswa karena surat tersebut tidak menyatakan saya tidak mampu (saya berusaha agar kalimat tidak mampu dituliskan namun si Ibu bersikeras saya mampu karena saya Cina).
Saya terus mendapat pandangan rasis seperti itu hanya karena saya terlahir sebagai orang Cina—sesuatu yang tidak mungkin saya mampu memilih untuk dilahirkan menjadi suku apa. Saya sedih. Padahal saya selalu merasa saya merupakan orang Indonesia. Saya tidak membayangkan kalau saya merupakan orang asing di tempat kelahiran saya. Dan, pandangan rasis orang lain tidaklah membuat saya membenci Indonesia. Justru sebaliknya, saya makin mencintai Indonesia. Saya lulus 3,7 tahun dari ITB. Setelah itu, saya pergi mengabdikan diri mengajar di pelosok negeri. Pada saat saya bekerja di Jambi, saya masih menyempatkan diri sambilan membantu sekolah dasar di sana. Karena apa? Karena saya cinta Indonesia dan berharap dapat terus melakukan apa pun buat Indonesia—khususnya generasi penerusnya. Dan, saya sudah menulis lebih dari 50 artikel di surat kabar lokal bahkan nasional dengan mencantumkan marga Tionghoa saya—saya berharap orang lain melihat bahwa ternyata orang Tionghoa ternyata memiliki peran dan peduli bagi Indonesia. Saya berusaha menunjukkan diri bahwa saya anak Cina namun saya sayang dan cinta Indonesia. Rela berbuat apa pun untuk bangsa saya ini.
Kejadian yang Ibu saya alami dalam hari-hari dekat ini kembali membuat saya berharap bahwa diskriminasi dapat hilang dari Pertiwi. Saya sangat berharap bahwa orang-orang yang hanya lahir dengan suku yang lebih banyak berada di tanah asing tidaklah mendapat perlakuan serupa di tanah air ini. Kami bukan musuh Indonesia. Saya anak bangsa ini dan akan terus berperan bagi bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H