sumber gambar:bingkai berita.com
"Lebih baik ada orang stress dibanding ada orang bodoh": Kata Jusuf Kalla (JK)
Mantan Wakil Presiden ke-10 R.I. ini sangat mendukung kebijakan pemerintah tentang adanya penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) sebagai evaluasi penentuan kelulusan siswa ke jenjang selanjutnya dalam pendidikan formal yang diselenggarakan sekolah. Setidaknya JK memiliki paradigma bahwa penyelenggaraan UN merupakan salah satu strategi percepatan mutu pendidikan dalam rangka menciptakan output pendidikan yang berkualitas. Namun, apakah UN dapat dijadikan tolak ukur yang objektif sebagai penentu kelayakan kelulusan siswa? Di sisi lain, para aktivis HAM mensinyalir bahwa penyelenggaraan UN hanya memperpanjang deretan kasus HAM di republik ini. Antiklimaksnya, Komisi Nasional HAM mengusulkan agar penyelenggaraan UN dihapuskan. Berdasarkan kajian Komisi Nasional HAM bahwa proses pendidikan selama tiga tahun ditentukan hanya dalam tempo sesingkat-singkatnya (3-4 hari), menimbulkan fenomena ketidakadilan. Belum lagi, beberapa Lembaga seperti Forum Indonesia untuk Transparansi (Fitra) mengkritisi pemborosan anggaran yang dianggap sia-sia dan terlalu mahal untuk menyelenggarakan UN. Anggaran 600 Miliar dianggap sia-sian, karena tidak substansi dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Padahal kalau anggaran tersebut dipakai untuk meningkatkan kompetensi dan pedagogik guru atau memperbaiki fasilitas sekolah lebih baik, justru lebih efektif. Dan jika tidak ada kontrol yang jelas terhadap pendistribusian dan penggunaan anggaran yang 'menggendut' itu, bisa jadi akan memperbesar kemungkinan terjadinya praktik korupsi. Belum selesai polemik dan gonjang ganjing kerelevansian UN sebagai tolak ukur yang objektif terhadap kelulusan siswa, banyak keluarga khususnya yang memiliki anggota keluarga berstatus siswa, mengkeluhkan sistem aturan yang diterapkan dalam Ujian Nasional (UN) 2013. UN 2013 yang seyogianya dilaksanakan bulan April (SMP dan SMA) dan Mei (SD) ini akan menerapkan sistem soal 20 paket untuk meminimalisir praktik nyontek, joki dan beli jawaban. Dan bisa kita simpulkan bersama bahwa dalam hal ini, ternyata pemerintah masih ragu dengan proses pendidikan yang telah dilalui para siswa itu sendiri selama tiga tahun. Padahal seharusnya, jika pemeritah telah memantau dan menganggap kebijakan yang ada berhasil menciptakan manusia yang bermoral dan berkarakter, seharusnya pemerintah tidak perlu khawatir kalau ada siswa yang nyontek dan tidak perlu melakukan sistem aturan yang represif, sehingga menghabiskan anggaran. Pemerintah seolah-olah tidak percaya dengan pengawas dan para peserta UN itu sendiri. Para siswa pun kembali 'ditakut-takuti' dengan tingkat kesulitan soal yang semakin meningkat. Pada tahun kemarin pembagian tingkat kesulitan soal yaitu soal kategori mudah 10 %, kategori sedang 80% dan kategori sulit 10%, di UN 2013 menjadi, 10% mudah, 70% sedang, dan 20% sulit. Dengan begitu, takaran soal-soal UNÂ yang sulit menjadi lebih banyak dibandingkan dengan tahun kemarin. Seperti oase di tengah gurun, pemrintah mewacanakan bahwa hasil UN (khusus SMA) akan menjadi syarat pendukung masuk ke perguruan tinggin negeri. Dan masyarakat pada umumnya mengapresiasi kebijakan ini sebagai langkah efektif sebagai follow up penyelenggaraan UN. Untuk Nilai minimum UN, pemerintah masih menetapkan batas nilai rata-rata 5,5 dan batas nilai per mata pelajaran minimal 4,0. Aturan batas nilai ini masih sama seperti tahun kemarin. Namun dengan adanya beberapa perubahan aturan UN di beberapa aspek, bukan tidak mungkin akan terjadi peningkatan persentase ketidaklulusan UN 2013. Khusus SMA, pada tahun 2011, persentase kelulusan sekitar 99,22 % dari 1.461.941 peserta UN. Dan di tahun 2012 terjadi peningkatan siswa lulus UN dengan penambahan persentase 0,28 % menajdi 99,5 % dari 1.524.704 peserta UN. Kekhawatiran pun muncul tak kala telah disepakatinya aturan penyelenggaraan UN 2013 yang lebih antisipatif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dan dampak dari perubahan ini membuat psikis siswa semakin gulanah dan dapat menyebabkan tingkat stress meningkat baik pra maupun ketika UN berlangsung. Berkaca dari beberapa Negara maju dengan sistem pendidikan yang baik, ternyata beberapa Negara maju tidak menerapkan sistem ujian sejenis UN ini, seperti Negara Finlandia yang memberi tanggung jawab kepada guru untuk menentukan kelulusan siswa. Sementara Jerman pun tidak menerapkan sistem UN dan sejenisnya, dan lebih mengutamakan peningkatan serta pengembangan pendidikan yang lebih efektif seperti, peningkatan guru professional, meningkatkan fasilitas sekolah dan meningkatkan media belajar. Seharusnya gambaran pendidikan Negara-negara maju ini dapat menjadi cerminan dalam menetapkan suatu kebijakan tentang pendidikan khususnya tentang penyelenggaraan UN. Seyogianya dalam menrapkan UN, pemerintah setidaknya tidak mengeluarkan anggaran yang sedikit. Dan kekeukeuhan pemerintah tidak bisa dianggap sebagai salah satu strategi peningkatan kualitas pendidikan. Bagaimana mungkin kualitas pendidikan dapat mengangkat dan memperbaiki kualtias manusia, dalam tempo 3-4 hari? Namun jika hanya sebagai media 'menakuti-nakuti' siswa, sepertinya UN menjadi efektif diterapkan. Pada dasarnya UN tidak sepenuhnya tidak efektif. UN sebagai strategi yang baik untuk dijadikan kegiatan evaluasi siswa sepanjang studi jenjangnya. Hanya saja kembali lagi pada proses pendidikan itu sendiri, apakah sudah berjalan efektif sesuai dengan koridor dan tujuan pendidikan? Lalu bagaimana siswa-siswa yang ada di pedesaan dengan fasilitas yang minim dan kompetensi pengajar yang tidak lebih baik daripada di perkotaan? Apakah mereka siap mengikuti UN? Hal inilah yang semestinya perlu dipecahkan pemerintah di awal. Kondisi pendidikan Indonesia dewasa ini masihlah belum dapat menerapkan UN karena masih menyisahkan permasalahan-permasalahan lain yang belum selesai. Seolah-olah siswa merasa terhakimi dan menjadi 'kambing hitam' karena kesalahan pendidikan yang tidak berjalan efektif. Oleh karena itu, sebelum merealisasikan UN sebagai syarat kelulusan siswa, pemerintah perlu kembali mengkroscek kesiapannya melalui proses pendidikan itu sendiri sudah sejauh mana keefektifannya. Baru setelah itu, jika dirassa telah berjalan baik, maka UN pun layak untuk diadakan. Dengan melihat kondisi pendidikan Indonesia yang caruk maruk, mulai dari komponen, perangkat/instrumen belajar, fasilitas dan aspek lainnya yang mempengaruhi pendidikan, penyelenggaraan UN masih belum relevan diterapkan. Dan bisa jadi dengan perubahan aturan main UN yang semkain ketat tahun ini, kelak pada saat pengumuman nanti akan rawan danau air mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H