Dengan ilmu hidup lebih mudah, dengan agama hidup lebih terarah dan dengan seni hidup menjadi indah: kata para bijaksawan.
Adalah satu kalimat yang mewakili pencapaian seseorang dalam kehidupan. Rasanya belum purna dan tunai hidup jika ketiga hal tersebut belum dirasakan. Dan hasrat ingin memiliki ketiga unsur ini, acap kali sering menghampiri beberapa orang seperti para ilmuwan yang dalam hari tuanya lebih menyenangi seni, -sastra, teater ataupun lukisan- atau beberapa pengusaha sukses yang sudah jenuh dengan pekerjaan dan agamanya, akhirnya berujung pada kecintaannya pada seni. Sehingga nggak jadi aneh ketika banyak kolektor yang basic-nya pengusaha, rela merogoh katong terdalamnya untuk memiliki lukisan yang termahal sekalipun. Sehingga kalimat sakral yang diucapkan orang bijak di atas -tiga unsure tersebut- menjadi sejajar di meja kehidupan manusia. Sekian lama, sekian waktu, tidak menampilkan pementasan, akhirnya Kelompok Studi Seni (KSS) FKIP Universitas Lampung di malam minggu gempita dengan bangga mempersembahkan pementasan seni (mulai dari pementasan sastra, monolog, tari, rupa dan musik) yang diadakan pertengahan bulan kemarin (April) di Aula K FKIP Universitas Lampung, tempat yang sering dijadikan panggung pementasan beberapa tahun ini oleh mahasiswa. Yang namanya pementasan pun tidak luput dari persiapan yang matang. Untuk mempersiapkan permformance yang optimal di atas panggung, paling tidak para aktor harus berlatih selama dua bulan. Dan seperti pernikahan, pementasan hanyalah akad dan hajatannya. Sementara proses latihan agar bisa tampil baik, inilah yang penting. Mulai dari aktor monolog, pemain musik, penari, pelukis dan deklamator puisi, bercapai-ria berlatih untuk menampilkan penampilan yang terbaik pada penonton. Meski begitu, kodrat mereka sebagai mahasiswa yang harus belajr dalam ruangan segiempat dan mendenganr suara yang kadang-kadang gak 'ngeh' dari depan, pun mesti dilakukan. Tradisi belajar di kelas tentunya menjadi tugas paling utama para mahasiswa. Setidaknya itu yang pernah saya dengar enam tahun silam yang dikatakan oleh Rektor ketika baju hitam putih melekat di pertemuan awal sebagai kuliah umum dengan status sebagai mahasiswa. Meski masih berstatus mahasiswa, semua partisipan yang terlibat, masih memiliki sisa-sisa waktu yang ada untuk  mempersiapkan pementasan ini. Biasanya pementasan seni di kampus kami dilangsungkan malam hari. Hal ini memang disengaja agar cahaya panggung (lighting) yang digunakan lebih optimal. Karena kalau pada siang hari, cahaya bakal sulit untuk dibendung sehingga masuk ke dalam aula pementasan. Sementara untuk mendapatkan pencahayaan panggung yang baik, mesti menggunakan lighting. Selain itu, malam merupakan waktu yang sesuai untuk menyaksikan pementasan seni karena dinilai momen yang tepat melepas penat seharian. Jadilah budaya pementasan yang dilakukan malam hari masih bertahan sampai sekarang. Pagi hari (sebelum pementasan malam harinya), semua kru dan panitia melakukan persiapan panggung dan setting. Segala sesuatu yang berhubungan dengan panggung, sound system dan tempat penonton diatur sedemikian rupa agar terlihat menarik. Sesekali palu mencium paku dan suaranya menempel di koklea. Atau gegap para kru bergegas mengejar malam pementasan. Dan dengan kerjasama yang baik akhirnya segala sesuatu yang berhubungan dengan artistik dan panggung, beres.
Tepuk tangan yang menandakan selesainya pertunjukan monolog, dilanjutkan dengan pementasan tari dengan judul Etnik-Modern. Tari ini merupakan gabungan tari adat lokal di-mix dengan tari kontemporer.
Bahagia rasanya organisasi ini bisa mementaskan pertunjukkan yang apik, setelah sekian lama tidak melakukan pementasa khususnya pementasan di dalam kampus. Dan penantian saya ini ternyata menjadi penantian beribu mahasiswa FKIP Universitas Lampung. Tak akhyal, ruang yang dapat menampung 200 orang itu, penuh bak air luber yang tak tertampung lagi. Sehingga karena tidak kedapatan tempat duduk, beberapa penonton terpaksa menonton-berdiri dan beberapa lagi kecewa dan pulang. Meskin begitu ini menjadi evaluasi bagi panitia dan kru pementasan agar mengantisipasi hal-hal seperti ini. Pertunjukkan ini selesai jam 10 malam, dua jam lagi memasuki hari baru, hari Minggu. Banyak tepuk tangan, banyak evaluasi dan banyak masukan serta kritikan. Namun dibalik semua itu adalah, untuk mempersiapkan suatu pementasan tidaklah semudah menyelam dalam kolam renang. Banyak suka, duka, tawa serta keringat yang mesti berkucur sepanjang persiapan pementasan. Dan sudah menjadi alamiah, persiapan yang baik akan menghasilkan pertunjukkan yang baik.