Mohon tunggu...
Hendry Sianturi
Hendry Sianturi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

manusia yang miskin wawasan.\r\n"corgito, ergo sum; Aku berpikir maka aku ada"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Katanya Kesetaraan Gender, Bagaimana Jika Toilet Umum Disatukan?

2 Januari 2017   02:54 Diperbarui: 2 Januari 2017   03:18 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: www.girlswithmuscle.com)

Baru-baru ini, perkumpulan mahasiswa Universitas of Sussex (UOS), Inggris, melarang penggunaan pronoun (kata ganti) "she" dan "he". Mereka juga mewacanakan pergantian kedua kata ganti orang tersebut menjadi “they”. Sedangkan kata ganti objek “her” dan “him” diganti menjadi “them”.

Perkumpulan mahasiswa UOS merilis kebijakan bahasa yang lebih inklusif gender yang berlaku dalam bidang komunikasi, masyarakat dan pemilu di Inggris. Tujuannya agar kata ganti gender lebih netral dan tidak terjadi mis-gender.

“Individuals whose gender identities are not known should not be described as ‘men’ or ‘women’, and inclusive terms such as ‘person’ should be used instead,” seperti dikutip dari dailymail (2/01).

Nah, di Indonesia, permasalahan kata ganti laki-laki dan perempuan sebenarnya sudah clear. Baik pria maupun wanita, kedua-duanya menggunakan kata ganti “dia”. Tetapi, yang menjadi masalah, meskipun kata ganti “dia” bersifat tunggal, kekerasan simbolik pada perempuan masih saja merajalela.

Menurut sosilog Perancis, Pierre Bourdieu (1930-2002), kekerasan yang dimaksud bukanlah kekerasan fisik. Bourdieu menjelaskan, kekerasan simbolik merupakan sebuah model dominasi kultural dan sosial yang berlangsung secara tidak sadar (unconscious) dalam kehidupan masyarakat yang meliputi tindakan diskriminasi terhadap kelompok/ras/suku/ gender tertentu (Bourdieu: 1995).

Pandangan mengenai perempuan di Indonesia adalah kaum lemah, pengunggah air mata, gender termarjinalkan dan subordinat. Budaya di Indonesia masih tabu dengan adanya pemimpin perempuan. Beberapa pekerjaan yang dikerjakan laki-laki juga, tidak dipersyaratkan bagi perempuan, misalnya di bidang oil & gas.

Perempuan memang kerap mendapatkan diskriminasi gender. Simbol-simbol tersebut bahkan termanifestasi dalam regulasi, seperti KUHP pasal pemerkosaan, yang dari dulu sampai sekarang polanya adalah korban perempuan dan pelaku adalah laki-laki. Di Jakarta bahkan ada gerbong kereta listrik (KRL) khusus buat perempuan.

“Ah, dia cuma perempuan kok…... Ah, dia perempuan, mana bisa melakukan itu… perempuan mah, bisanya cuma nangis…” begitulah selentingan yang menyimbolkan diskriminasi gender.

Nah, apakah laki-laki dan perempuan itu beda??

Menurut Simone De Beavoir dalam bukunya The Second Sex menyebutkan, perempuan bukan dilahirkan tetapi terbentuk melalui proses sosial dan psikologi, yang membentuknya menjadi perempuan sesungguhnya (Turner: 2012).

Wacana-wacana membentuk sosok perempuan: gemulai, tubuh ramping, seksi, harus dilindungi, dan jadi “konsumsi” laki-laki. Sehingga muncul celetukan, bahwa perselingkuhan hanya dilakukan perempuan. Dan perempuan selalu senang pada kebohongan laki-laki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun