[caption id="attachment_315662" align="aligncenter" width="460" caption="Gbr. Salomon Northup (diperankan oleh Chiwetel Ejiofor) Sumber: Properti Fox Production"][/caption] Bagaimana kalau kita, seorang suami dengan kehidupan yang berkecukupan, memiliki pengakuan di lingkungan, memiliki isteri dan bocah laki-laki yang gagah, lalu besoknya seperti mimpi, tiba-tiba kita menjadi seorang budak dan menjalani penyiksaan selama 12 tahun? Barangkali ada yang depresi, kaget batin, atau menjadi gila apalagi dengan kondisi disiksa, ditekan, dan dieksploitasi seperti tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Inilah yang coba ditawarkan oleh Brad Pitt, sang produser dalam film berjudul 12 Years a Slave. Selain mencoba menampilkan sisi historis, kekejaman politik Rasis yang pernah ada di abad ke-19, Brad Pitt juga menampilkan psikis terendah dari manusia, yaitu psikis merasakan revolusi status kemanusiaan yang mengerikan. Film yang berdurasi 2 jam lebih ini, diangkat dari kisah nyata, seorang kulit hitam yang pernah diculik untuk dijadikan budak lalu berhasil lepas dari perbudakan kulit putih. Ketika masa perbudakan di Amerika, banyak para kulit hitam berhasil melarikan diri. Setelah itu mereka mengabadikan kisah mereka dalam tulisan dan aktif memberi ceramah kepada masyarakat tentang kejamnya perbudakan dan diskriminasi terhadap orang kulit hitam. Ini yang dilakukan oleh Salomon Northup. Setelah berhasil lepas dari belenggu perbudakan, dia aktif mengkampanyekan penghapusan perbudakan di Amerika Serikat. Kisah nyata ini kembali diangkat ke dalam film. Kamar produksi yang menyajikannya adalah Fox Picture dengan kuantitas pemain pendukung yang lumayan banyak. Setting tempat film ini lebih banyak berlokasi di perkebunan Amerika Serikat bagian selatan. Memang secara historis, praktek perbudakan lebih banyak terjadi di Amerika Serikat Selatan. Sementara, sutradara Steve McQueen, berhasil memberikan alur yang lebih unik dibandingkan film se-genrenya, Jango (salah satu nominasi film terbaik Piala Oscar 2013). Sisi keunikannya adalah, permainan alur yang relevan, membuat para penonton memberikan respon dengan kata "o...ternyata begini toh". Respon inilah yang menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan sang sutradara. Lalu untuk setting waktu terjadi pada awal hingga pertengahan abad ke-19, merupakan masa puncak perbudakan di Amerika Serikat. Secara umum, alur film bercerita tentang Salomon Northup (diperankan oleh Chiwetel Ejiofor) yang hidup di Saratoga, New York bersama isterinya Anne Northup (diperankan oleh Kelsey Scott) dan anak laki-lakinya Alonzo Northup (diperankan oleh Cameron Zeigler) dengan bahagia. Di New York, meski berstatus negro, mereka mendapatkan pengakuan baik dari masyarakat. Salomon adalah pemain alat musik biola dan sering dipanggil untuk mengiring pesta-pesta ataupun jenis hajatan yang membutuhkan alunan musik. Permainan biolanya apik, indah dan menghibur para pendengarnya. Namun, bakatnya ini pula yang membawanya ke dalam dunia yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya, yaitu menjadi budak. Ada dua orang bernama Brown (diperankan oleh Scot McNairy) dan Hamilton (diperankan oleh Taram Killam), telah menipu dan menculik Salomon. Dengan modus menawarkan kerjasama menjadi pemusik di acara sirkus mereka, Salomon dijebak dan dijual kepada makelar budak di Amerika Serikat bagian selatan. Sadar-sadar, Salomon telah berada di penjara dengan kondisi yang berbeda 180 derajat dengan kondisi malam sebelumnya yang masih memakai mantel dan baju kain halus. Batinnya shock dan kekagetannya mengalahkan air mata yang keluar dari kelopaknya. Inilah awal perjalanannya selama 12 tahun menjadi budak. Semasa menjadi budak, Salomon harus berpindah-pindah tempat dikarenakan Salomon sering dijual belikan layaknya seekor hewan. Beda tuan beda penyiksaan. Namun yang namanya penjajahan, penyiksaan dan perbudakan adalah sakit. Kesakitan-kesakitan terus dialami oleh Salomon. Penghinaan, cambuk dan pemukulan adalah hadiah yang paling sering diterimanya sebagai budak. Cukup lama, dia tidak percaya kalau dirinya adalah seorang budak. Beberapa kali dia coba melarikan diri, namun gagal. Hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang laki-laki pekerja kulit putih yang sedang bekerja membangun rumah kecil di perkebunan tuan Epps, bernama Bass (diperankan oleh Brad Pitt. Selain menjadi produser, Pitt juga ikut bermain walau di sedikit adegan ujung film). Salomon meminta kepada Bass agar memberitahu rekan-rekannya di Saratoga, New York, menjemputnya dari perbudakan yang mengerikan itu. Akhirnya Bass pun melaporkan pesan tersebut. Salomon akhirnya lepas dari perbudakan biadab dan bisa kembali bertemu dengan keluarganya sejak 12 tahun berpisah. Hidup dalam lingkaran perbudakan, telah menjadi mimpi panjang Salomon. Terdapat aroma akrab film 12 Years a Slave dengan sejarah kebengisan bangsa Eropa yang diperoleh. Pada mulanya, budak keturunan negro yang ada di Amerika Serikat berasal dari benua hitam Afrika. Sejak abad ke 14, bangsa Eropa yang hijrah ke wilayah Amerika Serikat, mulai melihat kawasan ini layak dijadikan industri dan perkebunan, bagian amerika serikat utara (termasuk sebagian Kanada), menjadi kawasan Industri sementara kawasan Amerika Serikat Selatan menjadi perkebunan. Hanya saja untuk membuat perkebunan, dibutuhkan SDM yang banyak, murah dan tangguh. Saat itu masyarakat yang mendiami Amerika adalah masyarakat Indian, sehingga bangsa Indian, sempat menjadi budak untuk perkebunan bangsa Eropa. Namun, bangsa Indian adalah bangsa yang berani melawan bangsa Eropa dengan prinsip kemerdekaan dan kebebasan. Seiring waktu berjalan, akhirnya Bangsa Eropa yang telah banyak migran dari Eropa ke Amerika, mencari alternatif bangsa yang lebih 'jinak' dan bisa dipaksa bekerja. Kemudian dengan menggunakan metode yang pernah diterapkan oleh Firaun di zaman sebelum masehi, bangsa Eropa, mengangkut orang-orang Afrika ke Amerika untuk dijadikan budak. Dengan cara "Triangular Trade", perputaran ekonomi di Eropa semakin membaik. Para Eropa jahiliah tidak mengalami masalah dengan proses pengangkutan, karena pada dasarnya, Eropa juga telah menjajah dan menguasai Afrika. Apalagi orang-orang Afrika, tidak melakukan pemberontakan yang frontal. Bisa dikatakan pembodohan sengaja yang dilakukan bangsa Eropa kepada masyarakat Afrika, dapat dikatakan sukses. Alhasil, pola pikir masyarakat Afrika saat itu, sangat rendah. Hal inilah yang memudahkan bangsa Eropa menjadikan bangsa Afrika menjadi budak di Amerika. Namun berbeda dengan Salomon, dia adalah keturunan Afrika yang memiliki wawasan baik karena mendapat pendidikan layak. Meski, harga diri dan semua materinya hilang sekejap, ketika menjadi budak tetapi dia masih memiliki intelektual, yang akhirnya menyelamatkannya dari perbudakan itu. Apakah pahala tertinggi di dunia? "Kasihanilah Tuhanmu dan sesamamu" Dan sebaliknya yang menjadi dosa tertinggi adalah "Perbudakan, Penjajahan dan Penyiksaan sesamamu". Jadi, jika kita masih menjajah dan menyiksa sesama, lalu memninta pahala besar, saya ragu kita mampu menuju tempat yang indah. Apalagi yang berharga dari sebuah rasa kemanusiaan, karena PANCASILA pun telah memateraikannya menjadi impian bangsa kita, dalam sila "KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB" serta kalimat sederhana Gandhi yang tidak akan pernah usang, "My Nationalism is Humanity". LALU BAGAIMANA DENGAN KITA? Film 12 Years a Slave, member pelajaran kepada setiap insan bahwa pengeksploitasian seorang manusia adalah sifat penjajahan yang menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H