Mohon tunggu...
Hendry Sianturi
Hendry Sianturi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

manusia yang miskin wawasan.\r\n"corgito, ergo sum; Aku berpikir maka aku ada"

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ada Monas di Lampung

22 Mei 2013   07:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:13 1642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_262789" align="aligncenter" width="427" caption="Tugu Kuning, tugu bersejarah di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung (dok. pribadi)"][/caption] Barangkali tidak banyak yang tahu tentang Tulang Bawang, tentang hiruk pikuknya yang cukup menggeliat atau bangunan budayanya yang indah. Kabupaten yang luasnya sekitar 4.361,83 km2 ini terletak di poros provinsi Lampung, menjadi daerah yang dilewati Jalan Lintas Timur Sumatera. Sehingga acap kali suara kendaraan ditambah bingar-bingar warga di pagi dan siang hari menjadi sarapan dan makan siang para aspal. Rasanya julukan Kabupaten ini -Sai Bumi Negah Nyappur (artinya adalah masyarakat yang terbuka, mudah beradaptasi terhadap lingkungan, serta ramah dalam pergaulan), sesuai dengan realita Kabupaten Tulang Bawang. Meski belakangan Provinsi Lampung sering dijejali dengan berita konflik hosisontal di media-media, namun tidak di Tulang Bawang. Mungkin sikap keterbukaan ini yang membuat Kabupaten Tulang Bawang perlahan berkembang karena kedewasaan masyarakatnya yang berada di lingkungan plural yang tidak hanya didiami oleh suku daerah (suku Lampung) saja, namun juga beberapa suku lain pun mendiami kabupaten ini. Sehingga jika dilihat dari luar, kabupaten ini adalah salah satu kabupaten yang paling plural di Indonesia. Dalam persinggahan saya ke Kabupaten Tulang Bawang, tepatnya ke Desa Dwi Tunggal, tanpa sengaja saya menemukan tugu yang terdapat di suatu pertigaan desa ketika matahari menggagahi langit. Tugu ini menjadi istimewa karena selain bentuknya yang sangat mirip dengan Monas (Monumen Nasional) yang ada di ibukota, ternyata setelah memperoleh informasi dari masyarkat setempat, tugu ini pun memiliki banyak filosofih yang menarik. Tugu yang melambangkan tentang kesatuan beragam suku yang ada di daerah ini.

1369184047622548065
1369184047622548065

Namanya Tugu Kuning, yang merupakan simbol masyarakat Desa Dwi Tunggal (salah satu desa yang ada di kabupaten Tulang Bawang). Tugu Kuning merupakan manifestasi Pemda setempat yang didirikan pada tahun 1983. Asal muasal berdirinya tugu ini pun cukup unik. Para masyarakat desa Dwi Tunggal yang memenangkan lomba kebersihan desa pada kegiatan tujubelasan pada tahun 1983, sepakat menggunakan semua hadiah yang dimenangkan mereka (berupa uang tunai) untuk membangun tugu. Mengadopsi budaya di pulau Jawa yang di setiap pertigaan ataupun perempatan jalannya sering membangun tugu, masyarakat Dwi Tunggal pun membangun tugu Kuning tepat di pertigaan jalan pertama yang ada di desa tersebut. Tugu yang sangat mirip dengan monas ini, dibangun dengan ketinggian kurang lebih 10 meter dan dcat dengan warna kuning -karena pembangunan tugu ini berlangsung pada zaman Soeharto, sehingga warna tugu ini dibuat berwarna kuning-. Jadilah tugu ini bernama Tugu Kuning. Selain itu, alasan masyarakat menggunakan hadiah kemenangan tujuh belasan tadi untuk membangun tugu karena disesuaikan dengan nama kabupatennya, yaitu Tulang Bawang. Tulang Bawang pada dasarnya terletak di tengah-tengah dan selalu arahnya lurus seperti tiang. Sehingga karena mereka tinggal di Tulang Bawang, jadilah yang dibangun di pertiggaan itu adalah sebuah tugu yang mirip dengan monas dan tulang bawang putih. Alasan lainnya juga dikemukakan oleh pria tua berusia 73 tahun, mantan pegawai sipil di kantor maritim. Mbah (begitu saya menyapanya) mengatakan bahwa tugu kuning merupakan lambang kejujuran. Pria yang memiliki lima anak ini -dua laki-laki dan dua perempuan-, mengatakan bahwa masyarakat Dwi Tunggal adalah masyarakat yang jujur. "Orang yang beruntung dan kaya dikalahkan dengan orang jujur. Karena jika sekali orang tidak jujur, maka selamanya tidak akan dipercayai orang lain." Setidaknya begitu Mbah Subanding menerjemahkan filosofih berdirinya Tugu Kuning. Dia juga mengatakan, pernah suatu kali cat tugu ini hendak diganti oleh pemda setempat, namun masyarakat menolaknya. "Cat tugu kuning harus tetap menguning, karena sejarah tidak bisa dirubah" begitulah mbah subanding menceritakannya kepada saya dengan penuh penekanan. Mbah Subanding adalah satu dari banyak masyarakat transmigran yang ada di desa Dwi Tunggal, kabupaten Tulang Bawang. Mbah yang lahir dikota Malang inii, menjadi saksi pembangunan Tugu Kuning tahun 1983. Dan sekarang dia tetap menjadi 'penjaga' Tugu Kuning di usianya yang hampir tiga per empat abad. Semboyan kabupaten Tulang bawang pun mewarnai dinamika keluarganya. Terlahir sebagai Kristen, ternyata tidak membuat mbah Subanding mengekang pilihan keyakinan dan agama anak-anaknya. Dari lima anaknya, tiga anak perempuannya ternyata menganut agama Islam. Sedangkan dua anak laki-lakinya menganut agam Kristen. Sementara, meskipun keluarga mbah Subanding plural, namun sedikit pun tidak pernah terjadi cek-cok ataupun konflik yang seperti berita-berita artis di TV. Sebaliknya, sampai saya berkunjung ke sana, keluarga besar mbah Subanding terlihat hangat walaupun keluarganya plural, hingga mbah Subanding memiliki banyak cucu. Usianya sudah banyak, namun semangatnya tidak pernah berkurang. Setelah tidak lagi bekerja sebagai sipil Angkatan Laut, mbah Subanding menghabiskan hari-harinya dengan tetap bekerja sebagai petani. Keringatnya masih jatuh pada hal yang berguna. Tidak ada hambatan kerut wajah dalam hidupnya. Bahkan pria 73 tahun ini, masih sanggup lomba lari mengitari desa. Tugu kuning dan mbah Subanding adalah cerita Indonesia, sepenggal sketsa bangsa kita. Tugu Kuning melambangkan kejujuran yang ternyata sudah menjadi langkah di negeri ini. Padahal bangsa kita jika menelusur sejarahnya, termasuk bangsa yang jujur. Namun sekarang berapa banyak anggota dewan, pejabat, orang tua, bahkan anak-anak, yang berani jujur. Tugu Kuning, salah satu benda mati yang menjadi simbol masyarakat Dwi tunggal, mengajari kita untuk mengasah dan memunculkan kembali nilai kejujuran. Di sisi lain, keluarga mbah Subanding adalah sepotong potret keluarga-keluarga Indonesia. Meski plural, namun keluarga mbah Subanding tetap harmonis. Pemandangan ini hendak mengingatkan kita bahwa seharusnya kita pun, bangsa Indonesia yang plural, bisa menjadi bangsa yang harmonis. Tanpa cek-cok, tanpa konflik dan perpecahan. Dari sebuah desa -desa Dwi Tunggal, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung-, yang barangkali tidak banyak yang tahu, ternyata memiliki cerita dan pesan tersendiri kepada saya dan saudara untuk tetap selalu menjaga karakter kejujuran dan menjunjung segala perbedaan. Mungkin masih banyak daerah-daerah kecil yang ada di negeri ini, masih menyimpan pesan penting yang terselip dalam sktesa sederhana. Hanya saja kembali ke kita, apakah kita masih bertahan pada ego, atau kembali ke nilai-nilai luhur bangsa ini? Semuanya kembali berpulang pada pribadi kita masing-masing. Kejujuran dan Pluralisme adalah dua karakter bangsa yang benihnya sudah tertanam di masyarakat kita, bak DNA-DNA yang berkumpul membentuk satu gen, pun kejujuran dan pluralism adalah nilai-nilai sejati bangsa kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun