Mohon tunggu...
Hendry Sianturi
Hendry Sianturi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

manusia yang miskin wawasan.\r\n"corgito, ergo sum; Aku berpikir maka aku ada"

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Diversitas Berpendapat: Dari Jalanan hingga ke Media

28 Desember 2013   00:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:25 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah prinsip alamiah setiap orang berbeda, baik secara biologi maupun ideologi. Untuk mengkonsolidasi perbedaan ini, sedari zaman kerajaan sampai sekarang telah banyak diciptakan sistem pemerintahan baik bersifat komunal/kelompok maupun cakupan lebih besar seperti, Fasisme, Komunisme, atau Demokrasi. Setiap sistem pemerintahan yang digunakan akan mempengaruhi sosial-budaya masyarakat, termasuk dinamika berpendapat. Sistem pemerintahan meskinya memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, ada kalanya pemerintahan lebih memperhatikan hal-hal di luar humanitas untuk mencapai konsolidasi perbedaan yang lebih cepat namun riskan dan timpang. Kita dapat mengamati perbedaan potret dinamika zaman orde baru (orba) dan zaman reformasi. Di zaman orba, dinamika bermasyarakat kaku, dan menafikan nilai-nilai kemanusiaan demi mempercepat konsolidasi, sehingga pemerintah orba mengusung demokrasi yang rapuh. Sementara zaman reformasi, telah terjadi over democration. Lalu lalang perspektif berlangsung vulgar, sehingga kemunculan isu sering ditanggapi berlebihan. Hal ini berdampak pada terciptanya masyarakat yang sensitif dan proaktif berpendapat. Meski demikian demokrasi telah menjajakan obral pendapat, sehingga kesakralan pendapat memudar. Kalaupun masih sakral, itu karena telah mengalami proses perdebatan dari banyak pemikiran, yang menghasilkan kesimpulan. Setiap pendapat berhak datang dari mana saja. Akibatnya sulit membedakan antara pendapat yang konstruktif atau dekstruktif.  Seharusnya dinamika berpendapat dapat berdampak baik. Baik dalam hal ini adalah mengutamakan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi. Dinamika berpendapat yang efektif adalah dinamika pendapat yang substansif, bukan sekedar sensasi. Sistem pemerintahan demokrasi mesti memperhatikan nilai-nilai keadilan, kebebasan, saling menghormati dan menghargai keberagaman (Idria Reza, dkk. 2012: 83), sehingga menciptakan diversitas media berpendapat, seperti berpendapat dalam pertemuan/rapat, aksi di jalan, melalui surat/pamplet, dan yang laris sekarang berpendapat melalui media, baik mediat cetak ataupun media digital. Demokrasi membuka kran bagi setiap masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Namun demokrasi juga telah menciptakan sindrom skeptik menanggapi pendapat yang muncul di masyarakat. Setiap pendapat acap berbau politis praktis. Lihat saja acara dialog dan forum yang ditayangkan oleh beberapa media televise. Beberapa masyarakat biasa saja menanggapi perdebatan yang tampak di layar kaca. Masyarakat berasumsi bahwa perdebatan kadangkala tidak membawa kepentingan masyarakat, namun lebih pada kepentingan kelompoknya. Dinamika berpendapat dengan cara yang beragam telah memasuki babak baru dalam berdemokrasi. Tanpa regulasi yang baik, demokrasi akan bersifat paradoks. Seyogianya, demokrasi berhubungan dengan nilai kemanusiaan, justru akan mengkorek-korek nilai kemanusiaan itu sendiri. Itu artinya demokrasi akan anti-klimaks. Maka dari itu dinamika berpendapat dalam sistem demokrasi, seharusnya memiliki regulasi yang gamblang. Berpendapat dengan Suara di Jalanan Ketika aktif di organisasi kepemudaan (OKP) -sewaktu mahasiswa, berbagai cara berpendapat sering kami lakukan, seperti berpendapat melalui diskusi, penyebaran pamplet di mading-mading kampus, ataupun aksi turun ke jalan, paling akrab dengan aktivis mahasiswa. Kami melakukan aksi turun ke jalan dengan mengfokuskan lokasi di kantor-kantor pemerintahan atau yang berhubungan dengan isu yang hendak disuarakan. Misalnya saja isu kenaikan harga tarif listrik dan maraknya pematian lampu sesuka hati pihak PLN tanpa pemberitahuan sehingga mengganggu kenyamanan pengguna listrik. Kami melakukan aksi turun ke jalan, meyampaikan pendapat dan aspirasi mewakili masyarakat di depan kantor PLN. Aksi turun ke jalan juga pernah kami lakukan di kantor pemerintahan seperti kantor gubernur, jika isu berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang menyimpang dan tidak memihak kepentingan umum.

Gbr. 1 Aksi di Depan Kantor DPR-D Prov. Lampung

Pemandangan aksi turun ke jalan yang biasanya dilakukan oleh mahasiswa, di zaman reformasi sudah menjadi pemandangan biasa. Tidak seperti di zaman orba, aksi turun ke jalan langka dan bersifat urgen untuk dlakukan. Meski di zaman reformasi ini diberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasi melalui aksi turun ke jalan, namun telah menimbulkan skeptik di tengah-tengah masyarakat. Aksi turun ke jalan yang sering dilakukan dewasa ini bukan lagi menjadi indikator urgensi. Banyak masyarakat sudah tidak respek bahkan menaruh curiga kepada para OKP yang melakukan aksi turun ke jalan. Kesakralan berpendapat melalui aksi turun ke jalan dianggap tidak suci. Ada tiga penyebab utama keskeptikan masyarakat terhadap pelaku aksi turun kejalan. Pertama, seringnya kelompok atau para pelaku aksi turun ke jalan ditunggangi oleh kepentingan suatu oknum. Artinya aspirasi yang disampaikan tidak pure demi kepentingan rakyat. Bahkan tidak sedikit juga masayrakat yang menilai para pelaku aksi turun ke jalan 'sebatas nasi bungkus'. Padahal di zaman orba, para pelaku aksi turun ke jalan sudah dianggap hampir mendekati pahlawan. Kedua, masyarakat menganggap pelaku aksi turun ke jalan, dalam menyampaikan aspirasi sering melewati batas. Dampaknya justru merugikan masyarakat lainnya. Bukannya menyelesaikan masalah, masyarakat beranggapan aksi turun ke jalan justru menciptakan masalah baru. Ketiga, beberapa para pelaku aksi turun ke jalan, sering menteriemahkan pendapat dengan cercaan dan makian. Hal ini justru mengundang respon ketidaksimpatiaan masyarakat. Lebih lanjut, masyarakat menjadi skeptik dan antipati kepada setiap para pelaku aksi turun ke jalan.

13881667351767071375
13881667351767071375
Gbr. 2 Aksi menyatakan pendapat di Depan Ramayana dan masyarakat Lampung

Menyampaikan aspirasi/pendapat melalui aksi turun ke jalan, rasa-rasanya kalau tidak matang dan tidak representatif terhadap masalah masyarakat, cenderung akan sia-sia. Penyampaian pendapat dengan cara ini, bukan lagi penyampaian pendapat yang efektif. Kondisi dan respon masyarakat menanggapi aksi turun ke jalan sudah acuh tak acuh.

1388166809361073131
1388166809361073131
Gbr. 3 Aksi menyatakan pendapat di depan Kantor Gubernur, Provinsi Lampung

Untuk mensakralkan penyampaian pendapat dengan aksi turun ke jalan, masyarakat khususnya mahasiswa sebagai aktor, perlu melakukan reorientasi aksi turun ke jalan dengan cara meningkatkan semangat idealisme atas ideologi bangsa, bukan pada kepentingan yang sepihak. Selain itu, aksi turun ke jalan seharusnya memperhatikan koridor-koridor dalam menyampaikan aspirasi agar tidak menciptakan masalah baru. Dan yang lebih penting, aksi turun ke jalan harus berdampak pada pencerdasan masyarakat. Dengan demikian penyampaian pendapat dengan aksi turun ke jalan, bisa lebih dihargai masyarakat sekaligus pembuktian bahwa pelaku turun ke jalan benar-benar memperjuangan hak rakyat. Tentunya ini lebih efektif untuk menyampaikan pendapat dalam rangka terciptanya kondisi masyarakat yang lebih baik. Berpendapat dengan tulisan di media Meskipun terlihat kurang frontal dari aksi turun ke jalan, namun berpendapat melalui media bisa lebih efektif. Berpendapat denga cara yang lebih intelektual ini dapat dilakukan di media cetak ataupun digital. Berpendapat dengan aksara adalah salah satu cara beraspirasi yang bisa dilakukan masyarakat. Bahkan bukan hanya penyelesaian masalah yang disampaikan, konsep resolusi atas kesenjangan juga dapat diutarakan melalui media. Itu yang pernah saya lakukan selain aksi turun ke jalan ketika mahasiswa, yaitu berpendapat melalui media cetak dan digital melalui tulisan. Tidak sedikit perusahaan media cetak membuka kolom-kolom untuk beraspirasi dan spaces media digital menampung segudang aspirasi masyarakat. Hanya saja sampai sekarang berpendapat melalui media belum dimanajemen dengan baik meskipun telah ditetapkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Saya sering memanfaatkan media cetak dan digital sebagai medium berpendapat. Dalam tulisan saya yang pernah dimuat di kolom suara mahasiswa Koran Seputra Indonesia, yang berjudul "Sudakah Indonesia Kaya?" saya menyampaikan kerancuan kebijakan pemerintah yang memberikan pinjaman kepada negara lain, sementara Indonesia masih terbelit utang yang konon mencapai Rp. 2.000 triliun. Pemberian pinjaman kepada negara lain di tengah himpitan segudang hutang, rasa-rasanya adalah kebijakan yang konyol. Maka dari itu, melalui tulisan tersebut, saya mengusulkan agar pemerintah kembali meninjau ulang pemberian pinjaman kepada negara lain. Muatan pendapat saya yang disampaikan melalui tulisan ini lebih menonjolkan mangnitude dan objektifitasnya. Namun terkadang tidak sedikit juga media yang tidak mengutamakan kepentingan umum. Karena beberapa media cetak dan digital dimiliki oleh tokoh-tokoh nasional (yang memiliki agenda khusus), sehingga tidak jarang media cetak ataupun digital hanya mem-blowup informasi terkait pemilik media sehingga terlihat sisi subjektif media. Oleh karena itu, kenetralan suatu media pun sudah mulai diragukan.

138816688518611206
138816688518611206
Gbr. 4 Tulisan yang pernah dimuat di kolom Suara Mahasiswa, koran Sindo

Hak berpendapat menggunakan media sangat  dijunjung di negara demokrasi seperti Indonesia. Semua masyarakat, baik sipil dan elit, memiliki kesempatan yang sama. Mengutip perkataan A. d. Benoist "norma tertinggi demokrasi bukan "jangkauan kebebasan" atau "jangkauan kesamaan", tetapi ukuran tertinggi partisipasi", sehingga setiap warga negara dapat berpartisipasi termasuk berpendapat. Oleh karena itu, perbedaan pendapat di media cetak dan digital adalah dinamika masyarakat demokratis. Namun dalam berpendapat di media cetak dan digital, ada kaidah-kaidah yang mesti diperhatikan. Berpendapat di media, perlu memperhatikan aturan jurnalistik seperti unsur magnitude yang solutif, reflektif dan membangun. Bukan yang bersifat subjektif dan sarat kepentingan suatu kelompok. Hakikat Tujuan Berpendapat Akhir-akhir ini ada yang menarik tentang fenomena berpendapat di dunia digital. Keterbukaan digital yang ditunjang oleh kemajuan tekonologi memungkinkan keaktifan berpendapat meningkat dan lebih bebas. Coba saja perhatikan tweet yang mengalir dari pemilik akun @triomacan2000. Akun ini sangat aktif memposting berita-berita satire dan provokatif yang cenderung subjektif. Di satu sisi, fenomena ini dianggap progresif, namun di sisi lain telah meresahkan beberapa orang. Bahkan beberapa orang yang merasa dirugikan, pernah melaporkan pemilik akun @triomacan2000, kepada pihak yang berwajib tetapi masih ditinjau oleh pihak berwenang.

13881669551547747945
13881669551547747945
Gbr. 5 Akun Twitter Trio Macan 2000

Pada dasarnya tindakan pelecehan di media digital bukan perkara rugi atau untung saja, namun fenomena ini dapat dijadikan tolak ukur kecerdasan dalam berpendapat. Dinamika berpendapat yang baik dalam dunia digital meskinya dilakukan dengan professional dan beretika tanpa menciderai nama baik seseorang. Selama ini, larangan tentang berpendapat di media, khususnya di media digital masih hanya larangan seputar SARA. Padahal berpendapat di media digital sangat bebas, terbuka dan mencakup segala aspek termasuk nama baik, profesi dan kredibilitas seseorang. Tidak sedikit orang yang secara blak-blakan menyindir, bahkan menghina profesi orang lain di media digital. Seharusnya berpendapat di media digital harus memiliki dampak bagi masyarakat luas. bukan mengubah mind set masyarakat dengan menjelek-jelakan seseorang atau kelompok. Proses pembodohan seperti ini telah menyimpang dari hakikat tujuan berpendapat. Apa sebenarnya hakikat tujuan berpendapat? Tujuan berpendapat (purpose of speaking) berhubungan dengan Hak Asasi Manusia. Sejak terlepasnya rantai feodal orde baru dan diterbitkannya UU R.I. no. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang disahkan oleh Presiden Plt. B.J. Habibie 26 Oktober 1998, mulut-mulut yang dipaksa bungkam, bisa bersuara, menyampaikan pendapatnya. Masyarakat telah mendapatkan haknya untuk bersuara. Menyuarakan hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan aturan yang ada. Itulah hakikat tujuan berpendapat, mempengaruhi ke arah yang lebih baik berdasarkan ideologi, asas, aturan dan kaidah yang berlaku. Disamping itu berpendapat seharusnya dapat memberikan pencerahan dan solusi atas peristiwa dan permasalahan yang ada, bukan memperkeruh atau menambah masalah baru. Perbedaan pendapat adalah lumrah di tengah kemajuan zaman. Hanya saja dinamika berpendapat seharusnya mengacu pada kepentingan umum tanpa tedeng aling-aling, tanpa tendensi. Jika dinamika berpendapat telah dikontaminasi dengan kepentingan suatu oknum, sama saja kita telah menciderai demokrasi. Karena pendapat orang yang subjektif dan tidak beretika, sejatinya telah melacurkan pendapatnya sendiri. Oleh karena itu, mari kita menjaga hakikat tujuan berpendapat dan menjunjung bukan saja larangan dalam cakupan SARA, namun juga larangan pelecehan profesi, nama baik dan personalitas seseorang. Dengan demikian akan tercipta dinamika berpendapat berbasis humanitas yang lebih positif dan intelektual. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun