Mohon tunggu...
Hendry Sianturi
Hendry Sianturi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

manusia yang miskin wawasan.\r\n"corgito, ergo sum; Aku berpikir maka aku ada"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Agama Hanya Tameng?

30 Januari 2012   02:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:18 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Segumpal orang mengatakan bahwa agama mereka adalah yang benar. Dengan memeluk agama seperti yang mereka anut, maka mereka semua akan masuk surga. Surga setelah kematian, lebih biasnya lagi salah satu mereka itu tidak seorangpun yang pernah mati kemudian memberi tahu bahwa ini yang benar. Lalu siapakah yang bisa memastikan bahwa mereka akan masuk surga? Dimanakah ujung bumi yang kita sebut sebagai taman firdaus itu?

Kadang – kadang kita kurang percaya tahkyul tetapi selama ini kita selalu berbicara yang abstrak. Keabstrakan setelah kematian.

“Banyak orang yang ingin masuk surga, tetapi sedikit orang yang benar – benar mau mati.”

- Donald Trump.

Seperti kebanyakan agama, memiliki rutinitas dan tata ibadah setiap minggunya beberapa agama selalu melakukan hal – hal yang sebenarnya mereka sendiri tidak memaknai filosofih dan dasar pelaksanaan itu. Kita melakukan apa yang tidak kita pahami. Seperti bayi polos yang menggigit – gigit jarinya. Seolah – olah kita bukan manusia tetapi seperti padi yang menguning akan selalu merunduk menghadap ribaan tanah yang gambut.

Selama ini rutinitas dalam agama yang menjungjung tinggi kebajikan menurut (versi manusia) selalu kita lakukan tetapi setelah itu hal – hal yang menyangkut itu sangat kurang bahkan antiklimaks dari itu semua. Kemudian kita mengumbar kebenaran yang abu – abu padahal kita sendiri belum yakin dengan hal itu – benar atau tidak. Jika separuh bangsa – bangsa yang ada di dunia ini atau 100 negara yang ada di planet ini mengatakan bahwa korupsi itu adalah kebajikan, maka itulah yang benar. Kebenaran sepertinya relatif. Ini faktanya! Tidak ada hakim di atas Hakim. Mengapa kita ‘seenak jidat’ mengatakan bahwa ada yang benar dan ada yang salah? Manusia selalu berpatokan dengan demokrasi padahal demokrasi belum tentu benar adanya. Manusia yakin bahwa dirinya benar, padahal letak yang benarnya dimana? Dulu ketika zaman pra sejarah banyak hewan – hewan dibumihanguskan oleh manusia. Sekarang banyak pohon – pohon yang menjadi barang furniture. Lalu kita mengatakan bahwa manusia benar ketika para binatang dan tumbuhan telah menuntut manusia kepada alam agar manusia segera meninggalkan alam ini.

Agama mengatakan bahwa setiap manusia saling menyayangi tetapi dimana – mana perang berkecamuk. Kemudian kita ramai – ramai menyalahkan orang yang sedang berperang. Dan kita menzholimin mereka karena tidak mengasihi dan menyayangi sesama manusia. Dan seolah – olah kita seperti hakim dunia yang menjujung tinggi kasih sayang. Klise!

Lalu adakah benar dan salah? Apakah agama layak men-judge sesuatu hal dengan pilihan benar atau salah?

Katanya : “orang yang tidak beragama adalah orang salah dan yang beragama adalah benar.” Lalu manusia prasejarah tidak akan masuk surga karena mereka salah?

Kemudian siapa yang bisa memastikan seorang tanpa agama tidak ‘nongol’ di surga karena salah? Aku mencubit sebalut kulitmu dan kita mulai peperangan?

Perang lalu dimulai!

Namun ketika senyum mendarat di wajahmu, mengapa masih ada kamuflase diantara kita? Munafik tidak bisa ditutupi dan kasih akan selalu bersinar.

Aku beragama, beribadah tiap minggunya atau hanya sebuah rutinitas?

Aku beribadah bukan karena beragama melainkan karena aku punya kepercayaan. Iman butuh asah untuk ditajamkan agar bisa melihat sesungguhnya hal yang layak atau tidak. Dunia ini penuh teka – teki dan misteri oleh karena itu kedua bola mata masih belum mampu menembus kegelapan dunia. Tajamkanlah mata hati dengan beribadah bukan menguatkan radikalisme agama yang mengiklankan ilusi surga pada negeri khayal tanpa dasar yang belum kita sadari.

Iman adalah buah kepercayaan yang perlu diasah, bukan mepersempit pola pikir atas agama. “Bukanlah pisang yang diasah tetapi pisau atau parang karena permukaannya besi.” Mengapa kita selalu terjebak dengan suara manusia lain sementara kita menyelimuti gendang telinga kita dari suara iman dan seolah – olah suara manusia datangnya dari surga?

Kita diciptkan bukan saja memiliki otak tetapi juga feel. Kita tercipta tidak satu melainkan dari dua menjadi satu.

Kepercayaan seperti segelas air hangat, lalu kita masukkan sesendok gula. Setelah itu, mari kita minum air yang menyatu dengan gula. Rasanya akan manis tetapi gula tidak kelihatan karena sudah melebur bersama air. Gula hanya bisa dirasakan tidak bisa dilihat. Semakin manis jika gula ditambahkan semakin banyak. Kepercayaan kita semakin kuat jika iman kita semakin tajam.

Oleh karena itu, frame terhadap radikalisme dan frontalisasi agama harus dipertimbangkan. Marilah agama sebagai mediator bukan prinsip sejati kebenaran, karena Maha Pencipta menciptakan nurani dan pikiran dalam rupa manusia pertama sekali – kepercayaan dengan iman bukan kekeuh dengan agama men-judge. Barangkali pemikir – pemikir dahulu juga menciptakan agama sebagai mediator dalam wujud nyata agar iman manusia bertumbuh dengan alternatif dan jalan berbeda – beda. Namun sekarang sepertinya ada yang salah sekarang. Agama bukan lagi mediator tetapi seperti tameng para oknum yang berkeliaran tetapi tidak bisa ditangkap kedua bola mata.

Sejenak kita menutup mata apakah kita memang seorang hakim atau yang akan masuk di ruang penghakiman. Jika kita sudah mengetahui jawabannya, maka akan tercipta damai, kasih dan sukacita. Tiada dengkih, amarah, sirik dan cemburu. Semuanya sudah diperlengkapi dengan pikiran dan nurani dan tidak ada satu manusia pun yang luput akan itu. Hanya saja kita terkadang tidak mau mendengar nurani dan tidak melihat pemikiran kita serta menyelaraskannya.

Alam ini akan membuka kulit – kulit kebenaran itu sendiri bersama Hakim ter-Agaung, ter-Masyur dan akan datang ketika ruang sidang sudah siap dan para malaikat sebagai saksi dan jubah penyertaan roh kudus akan menyematkan tiket kepada yang mendapatkan tempat bersama Dia.

Teriring salam buat saudara – saudaraku yang mengerti tentang iman ataupun berpaling dari iman itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun