Mohon tunggu...
Hendry Sianturi
Hendry Sianturi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

manusia yang miskin wawasan.\r\n"corgito, ergo sum; Aku berpikir maka aku ada"

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Libur Lebaran, Bertemu Bule dan Supir Isteri Pengusaha Terkaya

2 Agustus 2014   00:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:39 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski panjang, namun liburan tahun ini hanya aku habiskan di Jakarta. Semula ada rencana mau silahturahmi, mengunungi teman-teman lama di Lampung. Hanya saja, rencana tinggal rencana, pupus setelah sadar kalau kantong sedang kusut. Demi mengisi liburan, daripada bengong kaya ayam sakit di kamar kosan, aku pun keliling Jakarta bersama teman yang kebetulan juga tidak mudik.

Dua malam belakangan, ada peristiwa yang menarik. Pertama hari Rabu (30/07) di Jalan Jaksa. Daerah ini terletak di Jakarta Pusat, dekat Monas. Sehabis dari Gramedia dari petang sampai jam 10 malam, kami geser ke Jalan Jaksa. Karena adzan dari perut sudah menggema, di Jalan Jaksa kami makan nasi goreng. Pemilihan tempat makan bukan karena kami doyan nasi goreng. Ini hasil kesepakatan kami, dengan pertimbangan segala hal termasuk isi kantong.

Nasi habis di piring, sepasang bule menghampiri tempat jualan nasi goreng yang kami singgahi. Mereka duduk tepat di samping saya. Kursi yang kami duduki bentuknya memanjang, sehingga kalau mau bertatapan, harus menengadah ke samping. Sama seperti kami, mereka juga memesan nasi goreng dengan menggunakan bahasa inggris. Untungnya, si bapak penjual nasi goreng yang perutnya buncit itu, mengerti apa yang dikatakan si bule. Apalagi ketika nanya harga, si bapak penjual langsung saja ngomong, "ten thousand rupiah," katanya sambil tersenyum pada si bule cowok.

Aku menyapa mereka (tentunya pakai bahasa Inggris), yang sedang menunggu pesanannya. Meskipun tak banyak vocab yang aku pahami, setidaknya kuberanikan ngobrol sama orang asing itu. Mereka ternyata adalah warga Perancis yang sedang mendapat "big holiday" dari perusahaannya. Mereka menghabiskan liburan, mengelilingi Asia tenggara. Mereka sudah ke Vietnam, Singapura dan Malaysia. Dan dari negara Asean yang mereka kunjungi, ternyata negara yang paling asyik dikunjungi adalah Indonesia dan orang-orangnya adalah masyarakat yang murah senyum.

Si bule cowok itu namanya aku lupa. Sedangkan nama pasangan yang duduk di sebelah kanannya, bernama Ellen. Sebagai wanita bule, dia terlihat cantik. Mungkin, karena itu aku masih ingat namanya (hehehe). Sebagai orang Perancis, English-nya sangat bagus. Hanya saja karena sedikit paranoid, omongannya terkesan cepat. Padahal lawan bicaranya, masih newbie berkomunikasi English.

Rencananya, mereka akan menetap di Jakarta beberapa hari sebelum melanjutkan traveling mengelilingi Indonesia. Tujuan selanjutnya setelah Jakarta adalah Semarang. Mereka ingin mendaki gunung Dieng. Sementara sebelum ke Jakarta mereka sempat keliling Pulau Sumatera.

Setelah nasi goreng sudah dibungkus rapi sama si penjual (mereka ternyata makan di hotel), mereka langsung pergi. Seperti biasa akhir pertemuan dengan bule pasti mengucapkan "nice to meet you". "Nice to meet you too, man," kataku membalas.

Jalan jaksa telah menjadi tempat persinggahan para turis yang datang ke Jakarta sejak puluhan tahun. Konon, biaya penginapan di jalan jaksa lebih murah. Kalau kata masyarakat di sana, masih ada penginapan yang di bawah 100 ribu per malam. Padahal lokasi Jalan Jaksa terletak di pusat kota loh. Dekat stasiun Gambir, Monas dan tempat wisata lainnya. Dampaknya, sampai sekarang jalan jaksa jadi ramai bule.

Meskipun nasi goreng kami sudah lama habis, tapi kami tetap duduk di tempat nasi goreng tersebut. Apalagi setelah datang seorang laki-laki perawakan betawi yang panggilannya Ncek. Tak berapa lama, datang ladi seorang pemuda berkulit hitam, berjambang tipis dan bertubuh tinggi (belakangan aku tahu dia orang Ambon), mengajak kami ngobrol. Ada dua jam lebih, kami mendengar celoteh mereka yang kadang-kadang mengundang tawa.

Namun dari celoteh mereka yang banyak bocornya, ada informasi penting yang kami peroleh. Khususnya dunia hitam di jalan jaksa. Ternyata pak Ncek dan Aris punya pengalaman diajak sama bule untuk "nyuntik" narkoba. Tapi karena mereka sudah punya 'dasar' yang kuat, akhirnya mereka menolak. Selain itu, kata mereka, minuman sudah tradisi bagi bule di sana.

Mereka juga menceritakan kalau tidak semua bule yang royal. Ada beberapa bule yang pelit abis. Katanya sih, beberapa bule dari Afganistan. Ada juga beberapa bule dari Jepang. Sedangkan kalau yang baik, sering mengajak mereka minum bareng, berasal dari Papua Nugini dan Australia. Tapi itu versi mereka selama menjadi penghuni jalan Jaksa.

Pak Ncek ini sudah lama tinggal di jalan jaksa sehingga dia memahmi karakter-karakter turis. Dia juga sering membantu turis mereservasi penginapan. Menurutnya sejak bule pertama sekali berkunung ke sana sampai sekarang, jalan jaksa banyak perubahan. Nilai-nilai tradisionalnya banyak yang hilang. Jalan jaksa yang dulu dikenal dengan rumah-rumah sederhananya, kini sudah digeser dengan hotel-hotel lux. Ternyata bule-bule dulu, sering nginap di home stay rumah-rumah warga di jalan Jaksa.

Meskipun sedih, namun laki-laki paruh baya ini tidak terlalu memikirkannya. Menurutnya asalkan bule-bule dan masyarakat pribumi tidak membuat ulah dan onar, Jalan Jaksa akan tetap banyak didatangi oleh bule.

Satu lagi yang menurut pak Ncek ingin dilakukannya di jalan Jaksa, yaitu dia ingin membuat toko aksesoris khas Jalan Jaksa. Dulu sudah pernah ada, tapi karena modal kurang, akhirnya tidak berkembang. Saat ini dia sedang mengusahakan modal untuk membuka toko lukisan dan aksesoris. Jika modal sudah dapat, sehabis lebaran ini, ketika sudah normal lagi, dia mau membuka toko tersebut.

***

Besoknya (31/07), malam-malam aku dan temanku main ke jalan Dewi Sartika. Kami nongkrong di warung roti bakar jam 9 malam. Waktu kami asyik nongkrong, ada laki-laki bertubuh besar, berambut gondrong, berkulit hitam dan memakai jaket jeans biru, menghampiri kami. Dengan suara yang bongor, dia memintaku untuk mengirim SMS lewat HP-nya. Aku pun bingung. Masa punya HP nggak bisa pakai HP sendiri? Akhirnya, karena aku menolak, dia langsung pergi.

Seorang bapak-bapak berusia 57 tahun yang sedari tadi melihat tingkah pemuda tersebut hanya tersenyum. Ternyata laki-laki tersebut kaget waktu melihat bapak paruh baya itu. Menurut bapak tersebut, laki-laki itu mulanya ingin meminta uang keamanan kepada penjual roti bakar. Tetapi karena melihatnya, dia langsung ketakutan dan pura-pura minta bantuanku untuk meng-sms temannya.

Percakapan kami dengan bapak tersebut bermula dari itu. Selanjutnya dia menceritakan tentang pengalaman hidupnya. Sebut sajak Pak Hadi, memiliki pengalaman kerja yang banyak sepanjang hidupnya. Dia pernah bekerja di pengeboran lepas pantai, menjadi teknisi di bandara Cengkareng, cleaning service di wisma Kosgoro (underbone Golkar), menjadi supir angkot dan terakhir ini sebagai supir istri dari salah satu pengusaha keluarga Salim.

Dia menceritakan bahwa dia sangat nyaman bekerja dengan istrinya itu yang berinisial M. Sesekali, katanya, M sering memperhatikannya seolah-olah seperti keluarga sendiri. Dia pun mengagumi majikannya itu. Pekerjaannya memang lebih banyak mengantar putrinya ke sekolah. Tapi sesekali dia juga sering mengantar M ke salon.

***

Banyak yang beranggapan kalau mendengar cerita pengalaman orang berjam-jam, adalah perbuatan yang membosankan. Tapi menurutku, justru sangat menarik. Apalagi yang bercerita adalah orang-orang yang lebih tua dan matang secara pengalaman. Aku selalu beranggapan, saat aku mendengarkan khususnya pengalaman hidup mereka, saat itu pula pintu kegagalanku akan semakin jauh, dan pintu kesuksesan akan semakin dekat. Karena pengalaman buruk mereka akan menjadi atensi di memoriku dan pengalaman bagus mereka akan menjadi sumber-sumber ideku.

Meskipun temanku sudah jenuh, tapi aku masih tetap keukeuh mendengar pengalaman mereka. Kadang-kadang, agar aku terkesan mengikuti cerita pengalamannya, aku bertanya pada mereka. Mereka pun langsung menjawab. Pengalaman orang-orang adalah guru bagi yang mendengarnya.

Ternyata, setelah sampai di sini dan kuamati sekali lagi tulisan ini, aku tersadar, bisa juga menulis catatan harian seperti ini. Meskipun tidak sebagus teman-teman lainnya, daripada kenangan 2 hari itu hilang, setidaknya aku sudah tuliskan. Jadi kalau dibaca lagi nanti, bisa nyengir-nyengir nih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun