Kita tahu bahwa Covid-19 ini begitu banyak mengundang air mata, air mata dari mereka yang ditinggalkan oleh keluarganya akibat pandemi ini, air mata dari mereka yang kehilangan pekerjaan, air mata dari mereka yang bahkan langsung menderita penyakit ini.Â
Akan tetapi, tidak sedikit juga orang yang menerima kebahagiaan dari tragedi dunia ini, kebahagiaan dari mereka yang begitu mengasihi uang dibandingkan manusia, dan benar saja, corona ini telah membawa mereka mendapatkan segudang duit, misalnya saja orang-orang yang memiliki rumah sakit besar, orang-orang yang menyediakan swab dan seterusnya, jika hati nurani mereka tidak bekerja, bahkan di masa pandemi ini, mungkin saja mereka berdoa untuk terus adanya pandemi ini, agar uang mereka semakin menumpuk.Â
Lalu bagaimana kita menyikapi abstraknya kebahagiaan yang demikian? Bagaimana mungkin seseorang manusia yang lain memperlakukan manusia yang lainnya sebagai alat, yaitu alat meraih setumpuk duit. Padahal, seperti kata seorang filsuf bernama Immanuel Kant, manusia yang lainnya itu harus diperlakukan sebagai tujuan, dan bukan hanya sebagai alat.Â
Saya dapat memperlebar pemikiran di atas dengan mengutip Augustinus yang mengatakan bahwa Tuhan itu haruslah sebagai tujuan, dan bukan alat meraih sesuatu, misalnya saja orang mau meraih kesehatan, dan dia berdoa kepada Tuhan, orang mau meraih jodoh, dia berdoa kepada Tuhan, dan orang mau meraih keberuntungan, maka dia berdoa kepada Tuhan, jadi, Tuhan itu hanyalah sebagai alat dia meraih sesuatu, dan bukan tujuan itu sendiri.Â
Mungkin saja cara pengikutan kita terhadap Tuhan mempengaruhi cara kita memperlakukan manusia, - dan memang biasanya demikian - begitu juga sebaliknya, cara kita memperlakukan manusia biasanya dapat mengatakan cara pengikutan kita terhadap Tuhan. Â
Bagaimana mungkin anda berbahagia di atas penderitaan orang lain? Kebahagiaan macam apa yang anda pertontonkan? Ah, tapi hal sebaliknya juga bisa kita katakan, bagaimana mungkin anda bersedih di saat orang yang lainnya telah mendapatkan kebahagiaan yang begitu besar dari adanya pandemi seperti ini?
Lalu Bagaimana? Pada zaman Socrates, tandingan filsafatnya biasanya dikenal dengan sebutan kaum Sofis, dan mereka mengajarkan relativisme kebahagiaan yang demikian, dia mengatakan bahwa kebahagiaan itu sebenarnya tergantung siapa dan bagaimana kondisi orang itu, dan dari sana dia menarik garis tajam hidup ini, bahwa semua hal di dalam hidup ini sesungguhnya bersifat relatif.Â
Ya, seperti saat ini, buktinya ada orang yang sedang bersedih, tetapi di lain pihak secara nyata juga ada orang yang begitu girang,- terutama mereka yang hati nuraninya kosong - namun begitu juga sebaliknya ketika pandemi selesai, mungkin akan ada orang yang bersuka, di sisi lain secara nyata pun akan ada yang bersedih, yaitu orang-orang yang kehilangan cuan dari corona ini.Â
Apakah benar bahwa hidup ini adalah seluruhnya relatif? Apakah benar bahwa kebahagiaan itu tergantung siapa dan apa konteksnya? Tentu saja kita tidak dapat lari dari itu, dan kita dapat mengatakan benar, namun di sisi lainnya juga benar, bahwa hidup ini tidak melulu mengenai relativisme kok, hidup ini tidak melulu mengenai, tergantung siapa orangnya dan tergantung apa konteksnya, nah dari sini Socrates memperjuangkan filsafatnya, pada kenyataannya siapa pun orangnya, dan apa pun konteksnya, semua orang mencari kebahagiaan.Â
Maka kebahagiaan itu sendiri bersifat absolut, dan bukan relatif, maka kebahagiaan yang sejati itu sendiri sebenarnya ada, dan tidak abstrak, ketika apa? Socrates akan panjang lebar dahulu bertanya mengenai apa itu sebenarnya kebahagiaan?
Kebahagiaan yang sejati itu sungguh ada, ketika definisi kita mengenai kebahagiaan kita tidak dangkal, yaitu menaruh kebahagiaan kita di atas kesedihan orang lain, jadi apakah itu kebahagiaan sejati?