Mohon tunggu...
Humaniora

Benih Organik dalam Rahim Bumi

4 Desember 2017   21:06 Diperbarui: 26 Desember 2017   17:21 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: caratanam.com

Dinamika sumber daya air telah bergejolak pada level mengkhawatirkan. Sebagai inti dalam kampanye pembangunan berkelanjutan, air "disembah-sembah" sekaligus "diperkosa". Paradoks ini melenyapkan keagungan Tuhan sebagai "pemilik" bumi ini. Penguasaan semena-mena pada air ini hanya satu sudut pandang bobroknya pola pikir manusia pada alam. Mampukah benih organik menjadi juru selamat? Bukan Tuhan yang tahu, melainkan kita.

Intropeksi Diri

Apakah kita memiliki sedikit rasa takut akan kuasa Tuhan? Rasanya tidak. Negara-negara besar tumbuh dan berkembang karena rasa takut. Singapura menjadi besar karena rasa takutnya akan minoritas kaum Tionghoa terhadap etnis Melayu. Korea Selatan meledak karena takut dikalahkan oleh kedigdayaan Korea Utara. Sementara, Indonesia? Tuhan pun tidak kita takuti. Para koruptor hingga pebisnis rakus akan terus lapar, berlaku serakah di hadapan Tuhannya. Eksploitasi telah berkonotasi negatif, mengilustrasikan alam yang sedang berlari dari kejaran manusia. Kesombongan kita sukses menakut-nakuti alam.

Tidak ada yang perlu dibanggakan. Suatu saat alam juga akan pergi meninggalkan. Manusia akan menghadapi ujian kehidupan sesungguhnya. Tambahan 2,5 miliar jiwa akan menyerbu bumi di 2050. Krisis air mulai menyebar ke negara-negara Asia. Alam akan berlari makin kencang. Apakah kita dapat bertahan? Atau justru hanya berjalan di tempat seperti marmut yang sedang bermain di roda?

Krisis Air sebagai Jejak Pelarian Alam

Masalah krisis air tidak lepas dari misi ke-12 pembangunan berkelanjutan, yaitu Responsible Consumption and Production. Sebagai kajian berskala global, krisis air memiliki implikasi yang signifikan terhadap kehidupan manusia. Signifikansi ini tercermin dalam peran air dalam berbagai bidang, seperti perannya sebagai elemen dasar industri, penyedia asupan nutrisi, hingga penjamin kesempatan pendidikan dan pekerjaan. Ketidakmampuan alam untuk berekspresi dituangkan dalam bentuk fenomena-fenomena alam. Fenomena ini tidak berbentuk, tidak langsung, dan tidak terlihat, namun sesungguhnya terjadi, sehingga manusia hanya berpangku tangan sampai merasakan sendiri dampak yang terjadi dan semua sudah terlambat. Yang menarik, fenomena-fenomena yang terjadi bukanlah bencana alam, melainkan hasil kreasi manusia sendiri. Fenomena yang divisualisasikan dengan krisis air ini hadir sebagai satu jejak pelarian alam.

Intervensi Sektor Agrikultur

Pelarian alam dalam jejak krisis air disumbangkan oleh beragam aktivitas manusia. Aktivitas tersebut dikelompokkan dalam tiga sektor, yakni agrikultur, industri, dan domestik, dengan proporsi kontribusi masing-masing 70%, 20%, dan 10%. Sekitar 86% konsumsi air dunia digunakan untuk memproduksi makanan. Produksi makanan tentu tidak lepas dari sektor agrikultur. Indonesia sebagai negara agraris erat dengan praktik agrikultur, terbukti dengan konsumsi air sektor agrikultur yang mendominasi secara signifikan. Dalam konteks Indonesia, nilai air yang tidak berharga alias gratis dalam sektor ini menjadi alasan mendasar tingginya konsumsi air.

Intervensi ini faktanya berujung pada orientasi yang keliru, seperti tertuang dalam perspektif agribisnis. Orientasi ini kemudian tertuang dalam praktik-praktik tidak berkelanjutan, khususnya pada sektor agrikultur. Praktik tersebut didominasi oleh penggunaan pestisida dalam dosis yang tidak wajar. Penggunaan pestisida ini didorong kepentingan pribadi atau sektoral, sehingga tidak lagi sejalan dengan tujuan pembangunan inklusif. Dampak dari praktik penggunaan pestisida tidak wajar ini sangat kompleks dalam rantai ekosistem, namun kerentanan perempuan terhadap dampak ini menarik untuk didalami.

Perspektif Keliru Agribisnis

Sebelum menguraikan dampak-dampak negatif yang mencerminkan kerentanan perempuan, penting untuk memahami dalang dari perilaku eksploitatif manusia. Konsep agribisnis memainkan peranan penting dalam hal ini. Secara harafiah, agribisnis terdiri atas dua kata, agrikultur dan bisnis. Dengan demikian, agribisnis adalah operasi bisnis yang berbasis sektor agrikultur, mulai dari tahap pertumbuhan, pengolahan, manufaktur, pengemasan, hingga distribusi. Sebagai operasi bisnis, pendapatan tentu menjadi satu target tersendiri, yang kemudian sering disalahgunakan. Penyalahgunaan cenderung mengorbankan pilar lingkungan yang justru esensial dalam menjamin keberlanjutan sebuah bisnis. Jika ditilik lebih jauh, akar penyebabnya adalah pemusatan manusia sebagai satu-satunya penguasa alam, yang kemudian lazim disebut antroposentrisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun