Tingginya konsumsi air, khususnya sektor peternakan, belum efektif ditangani dengan industrialisasi. Solusi yang lebih strategis adalah aplikasi sistem organik dan perubahan pola makan menjadi vegetarian yang memerlukan adaptasi terhadap budaya masyarakat, khususnya di Indonesia.
Agar lebih sederhana, uraian akan berfokus pada dampak konsumsi air. Perhitungan konsumsi air akan dilakukan dengan kajian jejak air, sebuah kajian yang tidak hanya menghitung jumlah air konsumsi, tetapi juga jumlah air untuk menetralkan pencemaran. Ternyata, jejak air produk daging sapi dapat dikurangi dengan industrialisasi peternakan. Namun, solusi ini berpotensi menimbulkan masalah baru berupa alih fungsi lahan dan emisi GHG berlebih. Solusi lain kemudian muncul, yaitu penggunaan sistem organik. Sistem ini terbukti mampu mengurangi konsumsi air, khususnya jumlah air yang dicemar.
Selain rantai produksi, evaluasi juga perlu dilakukan dalam rantai konsumsi. Pengurangan jejak air juga efektif dilakukan dengan perubahan pola makan. Penggunaan bahan dasar vegetarian, seperti kedelai, pada produk susu dan burger mampu mengurangi konsumsi air secara drastis. Perubahaan pola makan menjadi lebih sehat melalui metode vegetarian terbukti efektif mengurangi konsumsi air bidang agrikultur. Konsumsi air dihitung dengan kajian jejak air pada level konsumsi untuk negara-negara Eropa yang dikelompokkan menjadi Barat (Jerman dan lainnya), Utara (Irlandia dan lainnya), Selatan (Portugal dan lainnya), dan Timur (Polandia dan lainnya), dengan satuan lcd. Solusi ini tentu sangat potensial dalam upaya mendukung misi pembangunan berkelanjutan, khususnya misi ke-12 "Responsible Consumption and Production".
Di Indonesia, belum banyak penelitian spesifik terkait jejak air produk peternakan sapi. Namun fakta menarik menunjukkan bahwa Indonesia termasuk daerah dengan jejak air kemanusiaan yang tinggi, seperti layaknya Amerika, Brazil, dan Australia. Fakta ini tidak terlepas dari aktivitas bidang agrikultur yang menyumbang 92% konsumsi air dunia. Untuk itu, Indonesia perlu mempertimbangkan kemungkinan penerapan alternatif solusi yang diajukan.
Di balik itu, Indonesia tentu menghadapi tantangan besar lantaran budaya yang telah tertanam dalam masyarakat. Pola yang sering muncul sebagai budaya dalam konteks konsumsi daging sapi adalah prestise sosial dan sugesti saat proses makan. Konsumsi daging sapi bagi sebagian masyarakat memiliki prestise sosial sendiri. Daging sapi menjadi barang mewah yang mungkin hanya dikonsumsi sebagian kalangan. Pengolahan berkelas dan situasi restoran yang nyaman, sehingga membuat produk pantas dihargai tinggi. Selain itu, keputusan pemilihan makanan juga dipengaruhi sugesti yang ditimbulkan oleh pikiran manusia. Istilah "lapar mata" menjadi populer di zaman sekarang, yang sering disebut-sebut sebagai penyebab konsumsi berlebihan manusia. Sistem bekerja sugesti ini sebagai contoh terjadi pada makanan utama masyarakat Indonesia, yakni nasi. Sugesti yang terbentuk adalah perasaan tidak kenyang ketika tidak makan nasi. Sugesti ini mengacuhkan fakta kandungan karbohidrat yang dapat pula diperoleh dari sumber makanan selain nasi, seperti singkong, kentang, dan sebagainya.
Baca critical review selengkapnya di http://bit.ly/2A67wmO.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H