Situasi 'aman sentosa dan sejahtera' itu berakhir setelah pemerintah Amerika ikut turun tangan langsung dalam memerangi bisnis narkoba di Mexico. Bukan polisi, tetapi militer Mexico yang kemudian bekerja sama dengan DEA (Lembaga Anti Narkoba Amerika) akhirnya berhasil menangkap Felix Gallardo pada April 1989.
Dengan ditangkapnya Gallardo, kartel-kartel yang semula bisa bekerja sama karena tunduk dibawah kontrolnya menjadi tercerai berai. Persaingan antar kartel untuk penguasaan wilayah mulai terjadi. Kekerasan dalam berbagai macam bentuk tidak terhindarkan dan menyebar ke seluruh wilayah Mexico. Perang antar kartel -- dalam arti yang sebenarnya -- terjadi dimana-mana. Â
Demikian juga kartel narkoba di Acapulco, pecah menjadi lebih dari 20 kelompok yang beroperasi sendiri-sendiri dan saling bersaing. Umumnya mereka adalah 'perwakilan' dari kartel narkoba yang lebih besar dari wilayah lain.Â
Dalam menjalankan aksinya, seringkali mereka 'mengontrak' geng-geng anak muda yang memiliki spesialisasi sebagai pemeras, penculik, pencuri ataupun pembunuh. Layaknya sebuah perusahaan yang me-subkontrakkan beberapa macam pekerjaan yang tidak mampu mereka tangani sendiri. Â
"Mereka bisa membunuh siapa saja untuk masalah sepele, seperti pengusaha, pelayan restoran, sopir taksi atau siapapun yang kebetulan lewat" kata teman saya Jose yang asli Tampico, kota di pantai timur Mexico sekitar 600 km dari Acapulco.Â
Korban kekerasan bisa terjadi dalam berbagai situasi, misalnya saja mereka yang benar-benar sial karena terjebak di tengah perang antar kartel, mereka yang tidak membayar pungli, mereka yang tanpa sengaja masuk wilayah kekuasaan kartel lain ataupun hal sepele lainnya. Menurut Jose, meski tidak sebrutal di Acapulco, kekerasan-kekerasan serupa juga pernah dia lihat sendiri di Tampico. Â
Dalam lima tahun terakhir, lebih dari dua-ribu hotel, toko, restoran ataupun tempat usaha lain di Acapulco bangkrut dan tutup karena pemerasan. Hanya hotel dan restoran yang berada di daerah yang sering dikunjungi wisatawan saja yang masih mampu bertahan, itupun hanya bagi mereka yang mampu dan mau membayar jasa keamanan.Â
Pemerasan juga marak dilakukan terhadap sopir taxi, akibatnya para sopir taxi-lah yang paling sering menjadi korban. Tahun lalu (2017) lebih dari 130 sopir taxi terbunuh di Acapulco, membuat sopir taxi menjadi profesi yang paling rentan terhadap resiko kekerasan. Â Â
Lalu dimana polisi ? Jose mengatakan bahwa polisi Mexico tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kejahatan kartel dan tidak terlatih untuk melakukan penyelidikan.Â
Selain itu mereka juga tidak memilik perlengkapan yang memadai dan bergaji rendah. Akibatnya, banyak polisi yang terlibat masalah korupsi dan ini sudah berlangsung sejak lama. Menurut Jose "Polisi Mexico sangat tidak efisien dalam menghentikan kejahatan. Mereka tidak bekerja untuk memberantas kejahatan terorganisasi, justru mereka sendirilah kejahatan terorganisasi yang sebenarnya. Kami benar-benar tidak berdaya menghadapi semuanya".
Apakah memang sudah sedemikian gawatnya situasi di Acapulco dan Mexico pada umumnya ? Jose tersenyum hambar mendengar pertanyaan saya. Kemudian untuk memberi kesan tidak terlalu buruk, dia mengatakan "Selama kita ke sana tidak untuk berbisnis narkoba dan tidak berkeliaran di bagian kota tertentu, saya kira Acapulco tidaklah se-menyeramkan yang diceritakan banyak orang". Â