Belum lama ini kita dikejutkan dengan pemilihan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan oleh Presiden Joko Widodo yakni Mas Nadiem Makarim. Banyak yang meragukan kemampuannya mengingat latar belakangnya di bidang bisnis digital. Justru inilah menjadi tantangan tersendiri buat Mas Nadiem, untuk membenahi sektor Pendidikan. Tidak hanya Mas Nadiem, guru, Dinas, Yayasan, Dosen dan sebagainya akan memiliki tantangan baru untuk segera berbenah dengan konsep-konsep pembaruan dari Mas Nadiem. Tidak mudah memang, tapi yakin bisa.
Berdasarkan data Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2015, Indonesia masih menduduki peringkat 10 dari bawah. Memang data tersebut bukan satu-satunya ukuran kualitas Indonesia. Namun bagaimana dengan kesiapan anak-anak Indonesia dalam menyongsong bonus demografi tahun 2045. Bila dihitung sejak tahun 2019, masih kurang 26 tahun lagi. Kelihatannya masih lama. Namun anak-anak saat inilah yang akan berkontribusi besar terhadap bangsa ini. Belum lagi perkembangan teknologi semakin cepat. Munculnya banyak rintisan usaha berbasis teknologi. Apabila mereka tidak disiapkan mulai dari sekarang, tidak ada artinya bonus demografi yang dimiliki bangsa ini. Mereka hanya menjadi babu dibangsa sendiri.
Banyak sektor di berbagai bidang Pendidikan yang harus dibenahi. Mulai dari kebijakan dan tata kelola, kurikulum, mindset pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pembiayaan, kampus pencetak pendidik, dosen, dan lain sebagainya yang menjadi pekerjaan rumah dari kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dari sekian banyak bidang sektor yang harus dibenahi, ada tiga hal prioritas yang urgen segera berbenah. Tiga hal itu sebagai berikut;
1. Kurikulum
Kurikulum di Indonesia, secara konsep sudah bagus. Namun kenapa dalam implementasinya belum seperti yang diharapkan? Salah satu jawabannya karena assessment atau ujian masih didominasi yang sifatnya teks. Misalkan saja Ujian Nasional. Begitu didewakannya oleh sekolah-sekolah atau dinas terkait hasil Ujian Nasional. Begitu euforianya ketika nilai Ujian Nasional sangat tinggi atau peringkat Ujian Nasional dinas tinggi, menunjukkan kualitas pendidikan daerah tersebut. Akibatnya, assessment proses pembelajaran juga dirancang bermuara pada assessment bersifat teks.
Misalnya Penilaian Akhir Semester dan Penilaian Akhir Tahun. Banyak Orang tua dan siswa sibuk mencari bimbingan belajar dan les privat. Sehingga menjamurnya bimbingan belajar dan sibuknya guru mencari tambahan penghasilan melalui les privat dengan dalih membantu belajar, padahal tidak lain membantu menyiapkan ujian atau assessment bersifat teks. Kementrian juga telah mengenalkan High Order Thingking Skiils (HOTS). Celakanya, diterjemahkan hanya bentuk penilaian yang bersifat HOTS. Siswa dilatih mengerjakan soal-soal HOTS untuk menghadapi asessment yang lagi-lagi berupa teks.
Pertanyaannya kapan anak-anak dibangun ide, mampu berfikir kritis, memiliki kemampuan problem solving, mampu menciptakan karya-karya? Padahal itu semua merupakan kompetensi yang jauh lebih berguna dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan hanya asessment akhir yang berupa teks, yang lebih menonjolkan konten materi daripada kompetensi. Lalu, bagaimana membangun kompetensi tersebut? Bisa dilakukan dengan cara meng-upgrade asessment dari bersifat teks menjadi bersifat project. Ketika asessment yang ending-nya berupa project, maka asessment dalam proses pembelajaran juga akan mengikuti.
Melalui project, siswa akan terlatih membangun ide, menggali informasi terkait ide yang digagas, mampu mengkomunikasikan ide, berkolaborasi hingga menciptakan karya. Banyaknya sumber yang dapat diperoleh dari teknologi, akan memudahkan siswa menggali berbagai informasi ide atau gagasan. Tentunya ada tingkatan project dari usia SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA. Kalau hal tersebut dapat terimplementasi, masih perlukan Ujian Nasional? Lalu bagaimana dengan bimbingan belajar? Bimbingan belajar harus berubah menjadi bimbingan yang bersifat skill yang mampu mewadahi dan melatih secara mendalam terkait bakat, minat atau kecerdasan anak. Bagaimana dengan guru yang memberikan les privat tambahan? Guru juga harus berubah, harus banyak menghasilkan karya-karya. Penghasilan tambahan itu dapat diperoleh dari karya guru.
2. Guru
Berbicara terkait guru tidak ada habisnya. Yang selalu disorot dan dituntut sampai sekarang adalah terkait kesejahteraan. Mungkin masih ada guru yang berpenghasilan rendah di beberapa daerah. Pertanyaannya bagaimana tata kelola pemangku kebijakan baik itu yayasan sebagai penyelenggara sekolah atau instansi dinas di daerah tersebut? Pembahasannya ada di poin no.3 terkait manajemen sekolah. Namun banyak juga guru yang sudah terima tunjangan profesi. Pertanyaan besarnya adalah, berdampakkah terhadap kualitas pendidikan? berbagai macam regulasi digulirkan, mulai dari jam tatap muka harus 24, adanya hitungan tugas tambahan yang dikonversi menjadi jam, linieritas, sertifikat pendidik, NUPTK, NUKS dan berbagai macam hal lainnya.
Apabila asessment sudah berupa project, maka solusi agar guru tetap mendapatkan tunjangan profesi, harus memiliki project yang menghasilkan karya-karya pembelajaran. Tuntutan terhadap guru tidak lagi sibuk dengan administratif, tapi sibuk dengan selalu berkarya. Guru yang masih berpenghasilan rendah pun, juga memiliki kesempatan memiliki tambahan penghasilan dari karya-karya yang diciptakan.
3. Manajemen Sekolah
Manajemen sekolah sebenarnya bukan saja di tataran sekolah, melainkan yayasan sebagai penyelenggara sekolah, dinas dan kementrian pendidikan. Mereka juga sangat ikut andil dalam kualitas membangun tata kelola manajemen sekolah secara terorganisir. Mulai dari kebijakan kepegawaian (sistem rekrutmen, tugas dan fungsi, penggajian, aturan mutasi dan promosi, dan sebagainya), keuangan/pembiayaan (RAPBS, transparansi dan pengendalian anggaran), struktur organisasi berjalan sesuai fungsinya, dan pengelolaan sarana prasarana. Ketika manajemen bertindak semaunya, fungsi organisasi tidak berjalan dan tidak memiliki tata kelola yang baik, jangan berharap sekolah memiliki kualitas yang baik.
Tiga hal di atas perlu dibenahi secara serius, agar kualitas pendidikan di Indonesia dapat memenuhi kebutuhan jaman sekarang dan yang akan datang.