“Ayo Bu, senam!” “udah tadi malam sama suami saya.” “Wah, sunnah Rasul ya…”
Jujur, pertama kali saya mendengar hal semacam ini ialah ketika saya mulai bekerja di suatu lembaga pemerintah di kota xxx. Namanya lembaga pemerintah, setiap hari Jum’at pasti ada senam. Beberapa orang bercerita bahwa melakukan Jima’ (hubungan suami istri) di malam Jum’at hukumnya sunah.
Kok bisa? Bahkan ada yang menambahkan melakukan Jima’ (kelon dalam bahasa Jawa) di malam Jum’at pahalanya sama dengan membunuh 10000 setan. Waw, bisa bersih dong dunia ini dari hantu kalau itu betulan. Kecuali hantu-hantuan. Yang mana? Itu lho yang pake jas, pake kopyah, rekeningnya lebih gendut dari perutnya… Ssssssst… Malah ngelantur.
Kembali ke laptop. Bagi para pembaca sekalian, kalaulah malam jum’at disunahkan untuk melakukan Jima’, adakah di antara pembaca yang pernah mendengar dalilnya?
Berikut saya coba kutipkan satu pendapat dari Syekh Wahbah Az-Zuhayli “tidak ada kekhususan untuk melakukan jima’ di malam-malam tertentu.” Dari sini bisa kita simpulkan bahwa yang mengatakan jima’ di malam Jum’at hukumnya sunah, sama dengan membunuh setan, atau sama dengan membunuh orang Yahudi itu tidak berdasar.
Ada pun ulama’ yang menyatakan kesunahan jima’ di malam Jum;at itu hanya berdasar interpretasi yang bersangkutan atau dalam bahasa saya lebih tepatnya otak-atik gathuk. Gimana gathuknya? Saya rasa semua sepakat kalau sebelum shalat Jum’at kita disunahkan mandi layaknya mandi besar. Karena redaksi dalam hadits tersebut menyatakan “اغْتَسَلَ”. Kalau diartikan bisa diartikan mandi bersar (siwak, pake wangi-wangian, kramas, dan sebagainya).
Lalu bagaimana caranya agar orang mau mandi besar di hari Jum’at? Salah satu cara praktis harus diciptakan sebab seseorang harus mandi besar. Cara yang paling simpel adalah dengan cara menyebarkan hashtag “Sunah malam Jum’at.” Praktis kan?
Lalu bagaimana mestinya kita memahami hukum Jima’?
Perlu kita ketahui, bahwa ada lima jenis hukum dalam Islam, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Rinciannya:
1.Wajib: dikerjakan dapat pahala, ditinggalkan dapat dosa.
2.Sunah: dikerjakan dapat pahala, ditinggalkan tidak dapat apa-apa.
3.Mubah: dikerjakan nggak dapat apa-apa, ditinggalkan nggak dapat apa-apa.
4.Makruh: dikerjakan tidak dapat apa-apa, ditinggalkan dapat pahala.
5.Haraam: dikerjakan dapat dosa, dintinggalkan dapat pahala.
Lalu menurut anda, apa sebenarnya hukum jima’? Kalau saya sih jelas, hukum jima’ adalah wajib! Dasarnya?
1.Pendapat Imam Malik Rahimahullah:
والوطء واجب على الرجل – أي الزوج بأن يجامع زوجته – إذا لم يكن له عذر ، وبه قال مالك
“Hubungan seks wajib dilakukan oleh suami, yaitu ia punya kewajiban menyetubuhi istrinya selama tidak ada udzur. Demikian dikatakan oleh Imam Malik.”
2.Hadits Rasulullah SAW:
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah SAW bersabda:
« يَا عَبْدَ اللَّهِ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ » . فَقُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « فَلاَ تَفْعَلْ ، صُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
“Wahai Abdullah, benarkan aku dapat kabar darimu bahwa engkau terus-terusan puasa dan juga shalat malam?” Abdullah bin Amr bin Al Ash menjawab, “Iya betul wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Jangan lakukan seperti itu. Engkau boleh berpuasa, namun ada waktu tidak berpuasa. Engkau boleh shalat malam, namun ada waktu untuk istirahat tidur. Ingat, badanmu punya hak, matamu punya hak, istrimu juga punya hak yang mesti engkau tunaikan. Begitu pula tenggorokanmu pun memiliki hak.” (HR. Bukhari no. 1975).
3.Perkataan Ibnu Batthol dalam Fathul Bari (9: 299):
وَأَنَّهُ لَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يُجْهِد بِنَفْسِهِ فِي الْعِبَادَة حَتَّى يَضْعُف عَنْ الْقِيَام بِحَقِّهَا مِنْ جِمَاع وَاكْتِسَاب
“Hendaklah suami tidak mempersusah diri dalam ibadah sehingga membuat ia lemas untuk menunaikan hak istrinya yaitu kebutuhan seks dan bekerja untuk keluarga.”
Karena jima’ hukumnya wajib, maka melakukannya adalah pahala. Bisa juga disimpulkan: karena melakukan jima’ bernilai pahala, maka jima’ termasuk amal shalih atau perbuatan baik. Tiap-tiap kebaikan pahalanya sudah ditetapkan minimal bernilai 10 kali lipat. Lihat pada firman Allah, surat Al An’am ayat 160:
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al An’am: 160).
Lihat juga hadits:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ
“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat.” (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151)
***
Dari dua dalil di atas maka jelas sudah hitungan amalan jima’ jika kita rajin melakukannya. Jima’ karena termasuk ‘ibadah maka balasannya sama dengan amal shalih lainnya, yaitu serupa dengan 10 kebaikan. Artinya, Jika dalam seminggu anda tujuh kali mencampuri istri anda, berarti dalam seminggu anda mendapatkan 70 pahala kebaikan. Tiap hari anda rata-rata dari jima’ memperoleh 10 pahala kebaikan. Belum lagi dihitung amalan-amalan lain seperti shalat, bekerja mencari nafkah dan sebagainya.
Berita baiknya, dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda: “وأتبع السيئة الحسنة تمحها،" "Iringilah perbuatan dosa dengan amal kebaikan, karena kebaikan itu dapat menghapusnya."
Ini pertanda baik. Bahwa dosa-dosa kita seperti menonton video BF, ngrasani tetangga, menggunjing atasan yang korup dan sebagainya, bisa dihapus dengan amalan-amalan baik. Jadi kapan lagi?
Enak di dunia insya Allah enak juga di akhirat. Jika dalam sehari kita mendapatkan lima dosa, maka dalam seminggu kita memperoleh 35 dosa. Jika kita imbangi dengan jima’ lima kali seminggu, artinya kita dapat 50 kebaikan. 50 dikurangi 35 sama dengan 15. Waw, artinya pahala kita masih surplus!
Saya teringat kata ustadz sewaktu kecil. “Nak, kalau di akhirat timbangan dosa kita lebih berat dari pahala, maka kita pasti masuk neraka. Sedang jika pahala kita lebih berat dari dosa, maka kita pasti masuk syurga.” Selamat buat anda yang rajin berjima’. Syurga insya Allah di tangan anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H