Mohon tunggu...
Hendri Teja
Hendri Teja Mohon Tunggu... Novelis - pengarang

Pengarang, pengemar narasi sejarah. Telah menerbitkan sejumlah buku diantaranya: Suara Rakyat, Suara Tuhan (2020), Tan: Gerilya Bawah Tanah (2017), Tan: Sebuah Novel (2016) dan lain-lain. Untuk narasi sejarah bisa salin tempel tautan ini: Youtube: https://www.youtube.com/@hendriteja45

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Blunder (Sang Buruh) Menteri Tedjo

7 Februari 2015   09:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:39 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernyataan Menkopolhukam Tedjo Edhi Purdijanto kian hari kian blunder. Setelah sebelumnya menyebut KPK didukung rakyat tak jelas, kini Tedjo memasuki ranah buruh. Ancaman pegawai KPK untuk mogok jika seluruh pimpinannya ditetapkan tersangka oleh Bareskrim Polri, direspon Tedjo dengan jawaban "kayak buruh saja".

Respon  ini menggambarkan kegagalan Tedjo, bukan hanya, dalam membaca dan menganalisis gerakan buruh, tetapi pemahaman siapa buruh itu sendiri.  Ada tiga point penting yang saya catat terkait pernyataan Tedjo ini.

Pertama, gagal paham definisi. Setiap orang berhak menafsirkan definisi subjek tertentu, tetapi sebagai seorang pejabat publik, apalagimenkopolhukam, Tedjo dipaksa untuk berucap sesuai dengan konsteks peraturan perundangan-undangan. Karena jika tidak, multitafsir yang terjadi bisa menyebabkan kegoncangan-kegoncangan publik. Kasus ini adalah salah satunya.

Jadi berdasarkan UU No 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dan UU No. 14 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ditegaskan bahwa pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan  menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Artinya pegawai KPK itu bukan “kayak” buruh tetapi mereka memang buruh.  Bukankah KORPRI dan PGRI sudah tercatat sebagai serikat buruh di kementerian tenaga kerja? Hal ini merupakan pengakuan bahwa PNS itu adalah buruh.

Bukan sekedar pejabat negara ini digaji dari pajak para buruh, tetapi jika mau diperluas, menteri-menteri kabinet kerja itu juga buruh. Jokowi adalah CEO/ direktur utama dalam sebuah manajemen “perusahaan” bernama perintah Indonesia. Pemilik saham, sekaligus konsumennya adalah rakyat Indonesia, yang menyerahkan kekuasaanya kepada para komisaris berlabel DPR.

Kedua, pernyataan menkopolhukam seolah penglabelan negatif bagi gerakan buruh. Seolah kalangan buruh adalah kelompok arogan, egois,yang kerjanya hanya mogok dan unjuk rasa semata.  Jadi menkopolkam seolah bicara pegawai KPK itu punya tempat terhormat, jangan ikut-ikutan seperti kalangan buruh yang serampangan dan grasa-grusu itu. Persoalannya, sekali lagi saya tekankan, pegawai KPK itu adalah buruh.

Lagipula buruh yang sering nonggol di media massa itu hanya segelintir bagian gerakan buruh. Masih banyak model gerakan serikat buruh selain potret turun ke jalan, seperti pelatihan, advokasi hukum dan perundang-undangan, usaha dan koperasi dan lainnya. Artinya, kendati seorang menkopolkam, tetapi mata Tedjo, masih mata paradigma fenomena tersurat. Padahal masih ada 1001 hal-hal kasat mata, yang boleh jadi lebih bernas, dibalik itu semua.

Ketiga, menkopolkam menghidupkan kembali gaya orba. Mengapa? Karena pola orba itu adalah pola pecah belah. Sebagian kelompok diangkat, dan yang lain ditinggal, bahkan ditindas. Tidak ada persatuan, semua kalangan bergerak dengan tujuannya masing-masing.

Sadarkah menkopolkam bahwa saat ini sudah ada ratusaan serikat buruh dengan model gerakan masing-masing? Unifikasi gerakan buruh adalah impian besar dan panjang. Tetapi, ini yang fundamental, setiap serikat buruh terikat kesadaran “who we are”. Kesadaran ini muncul dari pergulatan panjang sehingga muncul definisi buruh sesuai peraturan perundang-undangan tersebut. Adalah sebuah gebrakan besar ketika KORPRI dan PGRI mau melepaskan paradigma Orba dan memposisikan diri sebagai serikat buruh. Dan kini, Tedjo menguncang-guncang definisi ini.

Secara pribadi, saya tidak sepakat jika pegawai KPK sampai mogok kerja. Mereka adalah kalangan, garda terdepan, yang masih bisa menaruh titik harapan di hati kita akan Indonesia yang bebas korupsi. Jika mereka mogok kerja, artinya ada potensi titik pencapaian mimpi kita itu akan kian panjang waktunya.

Tetapi bagaimanapun, sebagai buruh, mereka punya hak untuk unjuk rasa, untuk mogok kerja. Dan karena itu, semestinya Menkopolkam bisa lebih arif merespon tuntutan itu, misalnya dengan penyataan “Ente-ente jangan pada mogok, kasihan rakyat nantinya”. Tentu hal ini akan lebih sedap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun