Ketika kapal Suzzana melontar jangkar di Pelabuhan Amoy, segenap agen-agen PID sudah mengepung.Â
Setiap orang yang turun diperiksa, kemudian setiap kamar sampai lemari di dalam kapal. Tetapi Tan Malaka raib entah ke mana.Â
Adalah kapten kapal Suzzana yang bertingkah di sini. Ia ditekan oleh atasannya, direktur kapal yang bersimpati dengan Tan Malaka untuk melindungi putera Minangkabau itu habis-habisan. Maka sebelum kapal melempar jangkar, Tan Malaka sudah meloncat ke sekoci yang disediakan.
Di Amoy sendiri, akibat tekanan agen-agen PID, Tan Malaka sampai diselamatkan ke pedalaman. Di desa ini, Tan Malaka dikawal oleh gerombolan bersenjata yang siap baku tembak jika agen-agen PID macam-macam.
Kisah-kisah semacam ini ada banyak, ada di setiap negara di mana Tan Malaka singgah. Mulai dari Haalem Nederland, Moskow Rusia, Berlin Jerman, Rangoon Myanmar, Shanghai dan Hongkong Tiongkok, sampai Singapura dan Penang Malaysia. Mereka adalah orang-orang asing yang tidak berkaitan langsung dengan Indonesia, tetapi mau menampung Tan Malaka, bahkan siap baku tembak untuk melindunginya.Â
Kalau memang Tan Malaka ini penjahat besar dan komunis bengis, akan seperti itukah perlindungan orang-orang berbeda suku, bangsa, agama, ras, golongan dan dari banyak negara tersebut?
Satu yang perlu dicatat, Tan Malaka bukan revolusioner yang sekadar hidup dari kalangan yang bersimpati kepadanya.Â
Dalam perjuangannya, Tan Malaka juga bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri. Di Kanton, Tan Malaka bekerja sebagai admnistrasi perusahaan kapal; di Shanghai dan Singapura, ia menjadi guru sekolah bahasa asing; di Filipina ia bekerja sebagai wartawan; di Rawajati Jakarta, ia menjadi tukang jahit; Â di Bayah Banten ia menjadi kerani perusahaan tambang.Â
Ia tidak melulu tinggal di rumah gedong, seringkali ia menetap di kamar sempit dan pengap yang disewanya sendiri.
Bahkan buruh-buruh di Shanghai dalam suatu gerakan pemogokan pernah menemukan Tan Malaka terlelap di depan pintu WC hanya beralas tikar lusuh.Â
Tanpa pikir panjang, Tan Malaka berhenti jadi guru pengawas sekolah perkebunan di Dili Sumatera Utara, karena tidak tahan melihat penderitaan buruh kontrak. Padahal di sana ia difasilitasi gaji yang lumayan, berikut rumah dinas dan beberapa anak buah.