Mohon tunggu...
Hendri Teja
Hendri Teja Mohon Tunggu... Novelis - pengarang

Pengarang, pengemar narasi sejarah. Telah menerbitkan sejumlah buku diantaranya: Suara Rakyat, Suara Tuhan (2020), Tan: Gerilya Bawah Tanah (2017), Tan: Sebuah Novel (2016) dan lain-lain. Untuk narasi sejarah bisa salin tempel tautan ini: Youtube: https://www.youtube.com/@hendriteja45

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revolusi Mental Perburuhan

29 Desember 2015   17:57 Diperbarui: 29 Desember 2015   19:34 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Revolusi mental perburuhan tidak bisa tegak di atas perseteruan buruh dan pengusaha. Hubungan industrial yang berjiwa gotongroyong mustahil tumbuh di lading kecurigaan. Langkah pertama untuk melaksanakan revolusi mental perburuhan adalah mengerus perseteruan ini melalui politik etis perburuhan.

Sudah sewajarnya pengusaha membayar kembali hak buruh yang mereka rampas dari buruh selama kurun Orba. Bukan sekedar lentingan upah minimum selayak yang digembor-gemborkan hari ini. Tetapi segenap kerugian yang diderita akibat politik upah murah di masa lalu dikalkulasikan untuk kemudian dikembalikan kepada kalangan buruh. Pengembaliannya bukan secara orang perorang, melainkan dalam bentuk saham buruh.

Mengapa saham buruh? Pertama, karena jika perusahaan dipaksa untuk membayar secara langsung dikuatirkan akan terjadi defisit modal kerja yang tinggi. Lagipula, belum tentu buruh tertindas di era Orba itu masih bekerja di perusahaan.

Kedua, saham buruh bisa memutus kebuntuan komunikasi antara buruh dan pengusaha. Dengan memiliki perwakilan di RUPS, buruh bisa benar-benar mengetahui situasi dan kondisi perusahaan yang sejujur-jujurnya. Kecurigaan akan strategi tipu-tipu ala pengusaha bisa diminimalisir. Lagipula, pada siding RUPS, buruh bisa mengawal dan mengusulkan kebijakan yang berpihak pada pekerja.

Ketiga, saham buruh terkait dengan azas produktivitas yang digembor-gemborkan pengusaha. Peningkatan produktivitas akan membuat pendapatan perusahaan meningkat. Muaranya adalah tambahan pendapatan bagi buruh dari dividen saham buruh di perusahaan. Melalui saham perusahaan,  buruh juga sebagai pemilik. Sehingga motivasi kerja mereka juga akan meningkat. Bukankah hal ini yang disasar oleh revolusi mental perburuhan.

Pemerintah berperan untuk mendorong penerapan politik etis perburuhan. Kelihaian Jokowi-Jusuf Kalla diperlukan guna meyakinkan akan tanggungjawab moral pengusaha untuk membayar kembali keuntungan besar yang mereka terima akibat kebijakan penindasan buruh selama Orde Baru. Sebagai apresiasi, pemerintah bisa memberikan insentif bagi pengusaha yang menerapkan politik etis.

Apalagi, visi-misi Jokowi-Jusuf Kalla, versi naskah 42 halaman, secara tegas menyebut pemberian insentif  kepada perusahaan yang memberikan hak kepada pekerja untuk dapat membeli saham perusahaan. Perbedaannya adalah cara kepemilikannya. Bukan membeli, tetapi kompensasi bagi buruh atas penindasan masa silam. Terlepas dari dibeli atau kompensasi, pemerintah secara tegas sepakat bahkan siap untuk mendorong adanya saham perusahaan bagi kalangan buruh.

Maka politik etis perburuhan adalah langkah awal dalam penerapan revolusi mental perburuhan. Politik etis perburuhan adalah itikad baik pengusaha, bahwa mereka telah siap menjadikan buruh sebagai mitra kerjanya. Penyelesaian trauma masa lalu bisa meredam saling curiga antara buruh dan pengusaha yang menjadi akar ketidakstabilan hubungan industri di tanah air.

Jika politik etis perburuhan tidak dilakukan, maka revolusi mental perburuhan berpotensi besar menjadi jargon. Hubungan industrial yang dijiwai semangat gotongroyong akan sulit hidup di bumi Indonesia. Perseteruan buruh-pengusaha tidak kunjung meredup. Sebaliknya, peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah hanya akan berbuah penolakan, baik secara wacana maupun unjukrasa. Padahal Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di depan mata. Tantangan perekonomian global kian kompleks, sementara industri tanah air terus saja tidak stabil. Jika demikian, siapa yang akan dirugikan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun