Muara dari keempat model ini sama saja. Biasanya, jika buruh melawan, tentu intimidasi pemecatan dan atau ancaman tidak dipekerjakan kembali yang akan dilakukan.
Berharap Pada Perda?
Kesimpulannya, bukan sekedar pengawasan, tetapi diperlukan sanksi tegas bagi perusahaan-perusahan yang menolak atau enggan membayar hak THR buruh. Sanksi ini akan lebih menggigit jika dikongkritkan dalam pasal-pasal di UU.
Sanksi tegas kepada pengusaha yang tidak menunaikan hak THR bisa saja diterakan dalam perda. Bukankah sekarang era otonomi daerah? Namun, ini bukan pekerjaan mudah. Sudah jamak jika perda-perda lebih didorong oleh keberadaan UU yang menjadi payung hukumnya, baru dibreak-down dalam bentuk perda. Jadi bukan dominan kebutuhan atau inisiatif daerah.
Selama THR belum diatur dalam UU, mengharapkan inisiatif pemerintah daerah sangat  sulit. Sampai sekarang, saya belum pernah membaca perda yang kental semangat penunaian hak THR ini. Kelemahan ini mendorong serikat buruh, NGO, serta civil society yang konsern pada isu upah layak bagi buruh untuk mengajukan UU Sistem Pengupahan yang didalamnya mengatur soal THR.
Terlepas dari isu resuffle kabinet, kalangan buruh tentu berharap Hanif Dhakiri mau kembali memanjat pagar. Bukan pagar penampungan TKI, melainkan pagar gedung DPR RI, untuk memperjuangkan UU Sistem Pengupahan ini. Termasuk juga untuk memperjuangkan isu-isu ketenagakerjaan yang masih mandeg di meja komisi atau pimpinan DPR, contohnya pelindungan buruh migran dan UU pekerja rumah tangga.
Jika Hanif mau melakukannya, saya yakin 1000 % para buruh akan siap mendukung Kemenaker untuk menekan politisi senayan yang sering bergerak kemana angin berhembus.Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H