Mohon tunggu...
hendri setiawan
hendri setiawan Mohon Tunggu... Operator - Chemie - Pekerja Biasa di Pabrik

Bergulat dengan bahan kimia di kampus dan pekerjaan sekarang| Game: Mobile Legends, Arena Of Valor, League of Legends Wild Rift| Mengikuti anime tiap season| Musik J-pop & K-pop (bebas) | Hobi: Membaca dan menonton (bisa juga dibilang bukan hobi sih)

Selanjutnya

Tutup

Money

Duniaku adalah Tahu Tempe dan Permasalahannya

26 Februari 2022   21:40 Diperbarui: 26 Februari 2022   21:43 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak kenal dengan tempe dan tahu. Makanan olahan dari kedelai ini memang sudah sangat lekat dengan Indonesia. Bahkan tempe sudah diproduksi beberapa negara di dunia. Variasi makanan olahan dari tempe dan tahu saja sudah termasuk banyak. 

Tahu dan tempe goreng sepertinya sudah sering kita temui di pedagang kaki lima. Bagi saya, tempe tentu lebih enak daripada tahu. Baik digoreng dengan tepung maupun tidak. 

Sementara yang sering saya temui adalah tempe goreng tipis dengan tepung yang harganya murah hanya seribu rupiah. Tentu jika tempe goreng mendoan, harganya lebih mahal. Tempe goreng tanpa tepung juga tidak kalah bersaing rasanya, hanya lebih enak saat hangat dengan atau tanpa nasi putih. 

Namun, beberapa minggu ini terdengar kabar bahwa harga kedelai dari sebelumnya Rp7.000-8000 per kilogram menjadi Rp 12.000 per kilogram. Kenaikan ini langsung direspon produsen tahu dan tempe di Jabodetabek dengan mogok produksi yang menyebabkan menipisnya stok tempe dan tahu di pasaran. Untungnya kenaikan harga kedelai tidak berbarengan dengan naiknya harga minyak goreng. 

Kenaikan harga kedelai tentu tidak bisa lepas dari fakta bahwa Indonesia masih bergantung pada impor kedelai. Seperti yang saya baca di Kompas.com, penyebab naiknya harga kedelai karena cuaca buruk El Nina di Argentina dan tingginya permintaan kedelai dari China untuk pakan babi. 

Tentu kita tidak dapat menyalahkan cuaca buruk apalagi banyaknya pesanan dari negara lain. Tapi kita harus berkaca bahwa memang terjadi penurunan produksi kedelai di Indonesia. Apalagi permintaan kedelai semakin naik. 

Meskipun permintaan semakin naik, sayangnya harga kedelai lokal malah tidak menentu dan kadang rendah. Kalau pemerintah serius dengan isu ini hendaknya memulai sosialisasi dan pendampingan pada petani. Selain itu masalah lahan tanam juga menjadi hal yang krusial seiring naiknya jumlah penduduk di Indonesia dibanding tahun 1992 dimana saat itu Indonesia mengalami swasembada kedelai. 

Secara mutu kedelai lokal bagus untuk pembuatan tahu tapi untuk pembuatan tempe masih kalah dibanding kedelai impor. Hal ini juga menjadi PR pemerintah dan petani untuk meningkatkan mutu kedelai kita agar dapat bersaing dipasaran. Tentunya harganya juga diusahakan bersahabat dengan kantong. 

Saya tentu kurang dapat menerima jika kenaikan harga kedelai dan harga minyak goreng naik secara berbarengan. Khawatir harga tempe goreng naik malah ukurannya mengecil. Sungguh tidak adil. Barangkali pemerintah ingin agar rakyatnya tidak makan gorengan. Masalahnya, tempe dan tahu ini jelas-jelas sumber protein yang paling murah dan paling cocok untuk camilan ditemani kopi saat hujan di sore hari. Apalagi tempe mendoan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun