Mohon tunggu...
Hendri Purbo Waseso
Hendri Purbo Waseso Mohon Tunggu... -

kebahagiaan dan kesengsaraan itu temporal......!!!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hermeneutika dan Kepalsuan Pengetahuan

22 Oktober 2012   14:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:31 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hermeneutika merupakan suatu pendekatan dalam memahami teks untuk dicari maksud atau makna dari teks tersebut. Hermeneutika baru muncul di akhir abad 17an melalui seorang tokoh yang bernama schleirmacher dari jerman. Ia berbendapat bahwa untuk menginterpretasi suatu teks harus melihat teks seperti melihat keadaan jiwa (psyce) dari yang menyampaikan teks. Kemudian konsep itu dikembangkan oleh dilthey lebih luas yaitu seorang interpreter bukan hanya paham teks dan kondisi internalnya, akan tetapi juga harus memahami kondisi eksternalnya yang terkenal dengan sebutan “system eksternal”. System eksternal merupakan system yang dibentuk oleh tatanan sosialnya baik lingkup keluarga, masyarakat atau yang lainnya.

Konsep hermeneutic tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh gadamer yaitu dengan menolak hermeneutic sebagai metode. Akan tetapi ia berpendapat kalau pemahaman itu dapat didapatkan dengan proses dialektika. Sehingga mengenai rumusan hermeneutiknya, gadamer merancang suatu lingkaran hermeneutic. Maksudnya bahwa dalam lingkaran tersebut terjadi peleburan cakrawala pengetahuan sebuah teks dan yang membaca teks atau interpreter itu sendiri.

Yang menarik bahwa ketika dilthey menyampaikan bahwa kajian hermeneutic itu hanya dapat diterapkan pada pengetahuan yang sifatnya hanya berkaitan dengan manusia (geisteswassenchaften). Hal ini menunjukan adanya pembatasan mengenai teks yang bias di interpretasi oleh hermeneutic. Karenanya lanjut dilthey, bahwa manusia akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan disitulah manusia tidak mungkin bersifat statis. Berbeda dengan pengetahuan yang sifatnya ilmiah dan bersifat obyektif. Pengetahuan yang semacam ini harus menggunakan metode ilmiah. Dan hermeneutic tidak bias bersifat obyektif.

Itulah yang membuat pembahasan hermeneutic menjadi menarik dan memang sedang mengorbit. Karena interpretasi terhadap teks selalu bersifat subjektif. Tidak ada kebenaran tunggal. Dan jika ditelusuri lebih lanjut mengenai makna sebuah teks, maka yang terjadi adalah abstraksisasi realitas. Dan ini akan semakin mengaburkan teks jika tidak benar benar memahami teknik interpretasi itu sendiri. Artinya bahwa pengetahuan yang selama ini dibangun akan sia-sia dan hanya mengedepankan teknik-teknik keilmiahan tanpa mampu menghasilkan makna-makna tertentu. Sehingga akhir dari teknik-teknik keilmiahan itu sendiri akan memalsukan dirinya dari sebuah makna. Sedangkan hidup itu mempunyai makna. Jadi kesimpulan penulis yang menjadi awal bagi penulis untuk kembali tertarik untuk mengasingkan diri dari semua teori yang ada bahwa teori-teori ilmiah itu akan selalu bertentangan dengan makna kehidupan (kepalsuan pengetahuan), karena keilmiahan itu selalu bersifat pragmatis dan hanya manfaat konkrit yang dicarinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun