Mohon tunggu...
Hendri Ma'ruf
Hendri Ma'ruf Mohon Tunggu... lainnya -

Hobi "candid photo," suka traveling, dan senang membaca plus menulis. Pernah bekerja di perusahaan, sekarang berkarya mandiri. Meminati masalah kepemimpinan, manajemen, dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seorang Relawan di Tengah Budaya Tak Mau Mengalah

21 Juli 2015   15:54 Diperbarui: 21 Juli 2015   16:06 4625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang relawati mengatur lalu-lintas di perempatan Jl. Kalimalang-Jl. Jatiwaringin Raya, Jakarta Timur

Saya mau bercerita tentang seorang relawan pada Hari-H Idul Fitri, yang hatinya terpanggil mengatur lalu-lintas. Tetapi, cerita ini saya tempatkan dalam konteks budaya bangsa dalam berlalu-lintas.

Nah kalau sudah bicara budaya bangsa, maka benchmarking-nya adalah dengan budaya Jepang. Karena itu, saya mulai dengan sedikit bercerita tentang budaya bangsa Jepang dalam berlalu-lintas.

Saat gempa melanda Jepang beberapa tahun lalu, yang salah satu dampaknya adalah reaktor nuklir Fukushima yang rusak berat, orang-orang bergegas pulang. Di jalan raya, mobil-mobil mengantri dengan tertib. Ketertiban orang Jepang ini seperti sulit dimengerti karena mereka tenang dan tertib di jalan raya. Padahal semestinya mereka panik, terburu-buru pulang, dan hiruk pikuk di jalan raya. Ini tidak. Itulah sebabnya bangsa-bangsa lain menjadi kagum. Apalagi bangsa Indonesia, menjadi kagum tak terkirakan.

Orang-orang pun menilai bahwa mereka mereka bisa bersikap seperti itu karena proses yang panjang. Bahwa dari kecil mereka telah dididik menyikapi gempa dengan benar. Apa yang harus disiapkan dan apa yang harus dilakukan ketika gempa terjadi, itu semua diajarkan di sekolah.

Sebenarnya, ada pendidikan lainnya juga di luar soal gempa, yaitu soal tenggang rasa yang ditanamkan sejak muda. Mereka diajari pandangan dan perilaku bahwa kita hidup berdampingan dengan orang lain dan dengan alam. Karena itu, diajarkan juga soal bagaimana hidup yang harmoni. Itu artinya diajarkan juga tentang pandangan saling memberi, saling menghargai. Pendidikan ini menghindari sikap mau menang sendiri. Juga mengurangi sikap egois.

Karena itu mudahlah dipahami bahwa ketika dewasa, orang Jepang sangat kompak dengan sesama. Saling tenggang rasa cukup kuat. Oleh sebab itulah maka jalan raya yang dipenuhi oleh orang-orang Jepang yang ingin cepat sampai di rumah karena gempa, tetap berjalan dengan tertib. Tidak ada kegaduhan. Tidak ada kepanikan. Tidak ada saling serobot. Suara klakson kabarnya tak terdengar. Mereka bahkan saling memberi kesempatan pada kendaraan jika itu diperlukan. Terlihat sekali saling mengalah.

Ada pun tentang relawan pada Hari-H Idul Fitri, yang hatinya terpanggil mengatur lalu-lintas, kejadiannya adalah di malam hari di Hari Raya Idul Fitri 1436 di suatu jalan di Jakarta Timur.

Saya meninggalkan rumah orang tua di sebuah perumahan Angkatan Darat di Jl. Kalimalang, Jakarta Timur, pada pukul 19.30. Memasuki Jl. Kalimalang ke arah barat sekitar beberapa ratus meter segera mobil saya berhenti di buntut kemacetan di persimpangan Jl. Kalimalang-Jl. Pahlawan Revolusi-Jl. Jatiwaringin Raya (lihat peta).

Saya memperhitungkan, jika mobil saya untuk bergerak lagi harus menunggu 3 menit, maka itu artinya telah terjadi “posisi terkunci” alias “deadlock.” Dan ternyata benar dugaan saya, menunggu 3 menit untuk bergerak dan bergeraknya hanya maju satu meter, lalu berhenti. “Baiklah” pikir saya. Maksud saya, lengkapnya adalah “Baiklah, tantangan terjebak macet ini saya terima.”

Dengan istri yang duduk di samping, saya pun membahas perilaku berlalu lintas masyarakat kita. Semestinya pengendara yang mobilnya berada tepat di bawah lampu lalu lintas menyadari bahwa meski memperoleh giliran lampu hijau dia tidak boleh bergerak maju jika mobil di depannya berhenti oleh sesuatu sebab, termasuk karena macet. Itulah sebabnya di sebagian perempatan ada garis kuning dibuat menyilang di tengahnya. Tujuannya adalah jika mobil-mobil dari arah lain mendapat giliran lampu hijau, mereka bisa tetap melintas. Kalau pun tidak ada garis kuning itu, kesadaranlah yang membuat seseorang pengendara menghentikan mobilnya. Bukan karena ada garis kuning, dan bukan karena ada polisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun