[caption id="attachment_325041" align="aligncenter" width="560" caption="Foto Lembar Jawaban Habibi (diambilkan dari akun Muhammad Erfas Maulana)"][/caption]
Sebuah kasus menarik. Seorang siswa SD bernama Habibi, mendapatkan tugas menyelesaikan PR (Pekerjaan Rumah) dalam soal matematika. Soal itu selengkapnya adalah:
1. 4+4+4+4+4+4
2. 6+6+6+6+6+6+6
3. 7+7+7
4. 9+9+9
5. 4+4+4+4+4+4
6. 8+8+8+8+8+8+8+8
7. 7+7+7+7+7+7+7+7+7+7+7
8. 3+3+3+3+3+3+3+3+3
9. 4+4+4+4
10. 2+2+2+2+2+2+2
Habibi diajari kakaknya bahwa kalau ada soal 4+4+4+4+4+4 maka itu artinya angka 4-nya ada enam kali, berarti ditulisnya 4 X 6, baru ditulis jawabannya yaitu = 24. Maka jawabannya semuanya sudah mengikuti petunjuk sang kakak. Itu harapan Habibi dan tentunya harapan sang kakak.
Ternyata, delapan jawaban dinyatakan salah oleh bu guru. Jawaban yang semestinya lantas dituliskan bu guru di samping. Untuk soal nomor 1 seharusnya ditulis 6 X 4, bukannya 4 X 6. Soal nomor 2, yang benar adalah 7 X 6, bukannya 6 X 7. Dan soal nomor 3 dituliskan jawaban yang benar, 3 X 7, bukan 7 X 3.
Yang benar hanya ada dua, yaitu soal nomor 6. Itu karena keberuntungan bahwa yang dituliskan adalah 8 X 8, yang kalaupun diputarbalikkan, ya tetap saja, 8 X 8. Juga soal nomor 9, yang ditulis dengan benar, yaitu 4 X 4. Karena sudah tidak bisa dibalik lagi, sebab sama saja.
Kalau yang nomor 6 diganti menjadi 8+8+8+8+8+8+8 dan soal nomor 9 diganti menjadi 4+4+4, maka Habibi akan memperoleh nilai 0 (nol) alias kosong. Sebab, Habibi akan menulis 8 X 7 untuk jawaban nomor 6 dan menulis 4 X 3 untuk jawaban nomor 9. Kedua jawaban ini keliru.
Mengapa bisa begitu?
Sang kakak (yaitu Muhammad Erfas Maulana, mahasiswa Jurusan Teknik Mesin, Universitas Diponegoro) mengajarkan 4 X 6 ya sama saja dengan 6 X 4, yaitu hasilnya sama-sama 24. Hasilnya akan sama, meskipun caranya atau jalannya tidak sama.
Padahal di sisi lain, bu guru mengajarkan metode baru dalam pengajaran matematika. Dalam cara baru ini, caranya atau jalannya itu sama pentingnya dengan hasilnya. Hasil benar (misalnya 24) belum tentu dengan cara/jalan yang benar. Sebab 24 itu diharapkan dituliskan dengan 6 X 4, baru benar. Antara cara/jalan dengan hasil akhir, harus benar.
Nah yang hendak diraih dari pelajaran matematika ini adalah mendidik siswa untuk berpikir sistematis. Cara atau jalan yang benar itu dimaksudkan sebagai pemilihan proses yang benar.
Saya tidak ahli matematika, dan bukan guru matematika. Seingat saya, ada yang menjelaskan dengan istilah “himpunan” untuk menggambarkan 4+4+4+4+4+4. Digambarkan begini:
Lingkaran biru itu di sebuah himpunan. Dalam setiap himpunan ada isi empat bulatan putih. Maka dibacanya adalah ada enam himpunan yang masing-masing terdiri atas empat bulatan putih. Nah jumlah himpunan itulah yang harusnya dihitung. Sehingga cara menuliskannya adalah 6 X 4, yang dibaca ada enam himpunan berisikan empat bulatan putih, sehingga totalnya adalah 24 bulatan putih.
Itu cara membacanya yang didasarkan cara berpikir matematis. Maunya kurikulum adalah guru-guru mengajarkan cara berpikir sistematis dan logis melalui pelajaran matematika.
Yang jadi soal, adalah ketika siswa lupa pada cara berpikir himpunan saat di rumah, maka dia tanya kepada orang lain yang ada. Kebetulan orang lain itu kakaknya. Sang kakak dulunya tidak mendapatkan cara belajar matematika model sekarang. Sehingga dia menggunakan ilmu yang dia punyai, tentu saja seingat yang dia pernah pelajari di sekolah.
Saya sendiri produk Sekolah Dasar di Jakarta lulus tahun 1968. Jaman saya dulu itu, pelajaran berhitung disebut berhitung. Tidak disebut matematika. Tidak ada istilah himpunan di era saya. Sehingga saya pun sama dengan kakak Habibi yang menganggap 4 X 6 ya sama saja dengan 6 X 4.
Mengapa Sindonews.com yang mencoba menghubungi Muhammad Erfas Maulana belum mendapat respon? Mungkin saja sang kakak menyadari bahwa ada cara baru dalam menjawab soal matematika murid SD hari ini. Mungkin saja sang kakak menahan diri untuk tidak berkomentar lebih lanjut.
Apakah dia salah? Apakah dia keliru? Jawabannya tentu saja tidak. Lalu, apakah bu guru salah/keliru dalam memberi nilai 20 bagi Habibi? Tentu juga tidak. Tetapi, ada tetapinya.
Bu Guru yang bersangkutan tidak menyadari dampak psikologis pada sang siswa. Kalau semua teman-temannya benar, dia sendiri yang salah, maka dia beranggapan bahwa kakaknyalah yang salah. Kalau sampai sang adik menyalahkan kakaknya di rumah, maka sang kakak tidak terima. Dia akan berusaha menjelaskan bahwa caranya tidak salah.
Tidak saja kakaknya yang akan berjuang menjelaskan kepada adiknya bahwa caranya benar. Orang tua mereka mungkin akan berjuang menjelaskan dan menenangkan kedua anak mereka.
Apalagi sekarang soal itu sudah menarik perhatian beberapa ribu orang via Facebook.
Akhirnya kita harus melihat dengan jeli. Bu guru yang bersangkutan hanyalah salah satu dari sekian ribu guru SD di negeri ini yang mengajarkan matematika cara baru. Komunikasi menjadi penting. Guru-guru SD yang sudah dibekali dengan psikologi anak, tentunya tidak boleh melupakan bahwa mereka harus bijak menyampaikan penjelasan ketika siswa mereka ternyata menggunakan cara lama yang juga benar.
Para Kepala Sekolah dan para pejabat dari Dinas Pendidikan di masing-masing Kota semestinya harus mewaspadai hal-hal kecil ini. Meski kecil, soal ini besar bagi pengembangan kejiwaan anak-anak.
Semoga saja semua pihak yang berkepentingan menjadikan kasus Habibi ini sebagai pembelajaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H