Masa kampanye Pilpres 2014 yang dipenuhi kampanye masing-masing pasangan Capres-Cawapres juga diwarnai dengan kampanye hitam kedua pihak. Sebuah situs berita mewartakan pada 5 Juni 2014, bahwa Jokowi-JK mendapat kampanye hitam sebanyak 94,9 persen dan kampanye negatif sebanyak 5,1 persen. Sementara Prabowo-Hatta menerima kampanye hitam sebanyak 13,5 persen dan kampanye negatif sebanyak 86,5 persen.
Sudah sebulan atau mungkin lebih bahwa saling berkampanye negatif/hitam berjalan. Sebagian orang mengatakan bahwa masyarakat sudah cerdas, bisa memilih dan memilah mana berita yang sifatnya kampanye hitam atau bukan.
Tetapi, jika menyimak berita berikut ini, dari liputan6.com, kita akan melihat efektifitas kampanye hitam: Tokoh senior Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, prihatin. Saat berkunjung ke Sumatera Barat, Senin 30 Juni 2014, Buya Syafii banyak menemui masyarakat yang menyatakan takut memilih calon presiden nomor urut dua, Joko Widodo. Alasan mereka, Jokowi kafir. "Luar biasa ngeri di sana. Beredar isu Jokowi kafir," kata Buya, Kamis 3 Juli 2014. Temuan Buya, informasi bohong bertebaran di banyak tempat. Begitu juga intimidasi dan politik uang. "Rakyat menerima begitu saja," kata dia.
Selain soal kampanye hitam/negatif, seorang dosen dan peneliti politik Indonesia di Australian National University, Edward Aspinall, melihat hal lain. Dia mengatakan dalam tulisannya tanggal 21 Juni 2014 antara lain: ...kampanye Prabowo terorganisir rapih dan hanya memiliki satu tujuan jelas yaitu untuk menjadikan Prabowo Presiden dan mendapatkan dana yang melimpah sejak awal. Adik Prabowo, Hasyim telah memompakan dana tak terhingga, bahkan ketika popularitasnya semakin meningkat, Prabowo mampu mengkonsolidasi tambahan dana dari kekuatan oligarki dan sekutu politiknya. Prabowo juga berhasil mendapatkan dukungan dari dua konglomerat media utama Indonesia dengan siaran bias yang secara gamblang mendukung kampanye Prabowo ... (harus diakui pula bahwa kanal berita yang dimiliki Surya Paloh juga sama biasnya mendukung Jokowi).
Kecenderungan kenaikan elektabalitas Prabowo di satu sisi, tentu saja mengkhawatirkan kubu Jokowi-JK di sisi lain. Meski secara lahiriah JK mengatakan kubu mereka tidak memperhatikan soal survei elektabilitas, karena mereka terus bekerja, mungkin sekali secara batiniah kubu Jokowi-JK khawatir.
Kekhawatiran itu bisa berupa khawatir kalah, tetapi juga khawatir kalau masyarakat pendukung mereka di lapis terbawah yang emosional tidak bisa menerima kekalahan—sekiranya hasil Pilpres menyatakan begitu. (Sudah tentu ini menjadi tanggung jawab mereka yang berada di barisan elit partai untuk mengendalikan emosi massa mereka supaya tidak meledak menjadi situasi chaos.)
Pada tanggal 1 Juli 2014, ahli sosiologi Imam B. Prasodjo menulis di facebook, yang antara lain mengatakan Menjelang tanggal pemungutan suara 9 Juli 2014, saya merasa lebih tertarik membahas hal-hal penting yang bisa menjadikan negara kita mengalami situasi kritis... Salah satu masalah yang harus kita antisipasi adalah bila dalam pemilihan presiden ini terjadi selisih suara sangat tipis sehingga terjadi sengketa dan konflik berkepanjangan. Dengan ketatnya persaingan yang bisa dilihat dari berbagai polling baru-baru ini, maka tak mustahil saat perhitungan suara nanti terjadi selisih suara sangat kecil sehingga menimbulkan sengketa pemilu berkepanjangan..
Imam Prasodjo merujuk pada diagram rata-rata hasil survei yang diberitakan oleh Jakarta Globe di mana kecenderungan elektabilitas Prabowo-Hatta terus meningkat, dari 18,13% di bulan Maret, ke 22,28% pada April, 26,84% pada Mei, dan melonjak tajam ke 39,8% di bulan Juni. Di saat yang sama, Jokowi-JK tampak stagnan, yaitu 44,73%, 42,15%, 40,34% dan 43,88%.
Suara yang belum menentukan pilihan dari 37,14% menurun dari bulan ke bulan dan di bulan Maret anjlok ke 16,25%. Tampak jelas bahwa Prabowo-Hatta sukses besar dengan merangkul masyarakat dari kelompok undecided/swing voters.
Dengan trend kenaikan elektabilitas Prabowo-Hatta seperti itu, maka tidak mustahil apa yang dikhawatirkan Imam Prasodjo terjadi. Jika kemenangan diraih oleh Prabowo-Hatta dengan angka tipis, sangat mungkin para pendukung Jokowi-JK di lapis akar rumput meronta, memprotes.
Mereka secara emosional mudah terpancing dan mudah diprovokasi untuk melakukan gerakan yang merusak.
Sekarang saja sudah terjadi pengepungan Studio TV One oleh Relawan Pendukung Demokrasi yang menuntut TV One meminta maaf karena berita TV One yang menyebutkan PDIP mengusung kader komunis. Menurut Tempo, Kapolsek Cakung mengatakan bahwa itu bukan pengepungan. Mereka datang untuk meminta klarifikasi. Tidak ada pengrusakan dan tidak ada pemasangan spanduk. Mereka hanya dua jam berada di lokasi.
Tetapi, kejadian di Yogyakarta beberapa jam sebelumnya menunjukkan kekasaran. Karena kosong (semua personel sedang tugas di luar kantor), kantor TV One Yogyakarta menjadi sasaran kekesalan para pengunjuk rasa yang melakukan pencoretan dan aksi penyegelan.
Di dunia maya, para pendukung Prabowo-Hatta pun menyerang dengan memasang foto pencoretan dan penyegelan itu disertai kata-kata tajam seperti “Inilah hasil Revolusi Mental.” Bahkan kata-kata Anies Baswedan pun dipakai untuk menyerang kubu Anies sendiri, yaitu Perilaku pendukung mewakili sifat yang didukung—yang arti aslinya bersifat netral berlaku untuk kedua pihak.
Sebagian kita bisa mengatakan bahwa baru begitu saja sudah beringas, apalagi kalau kalah. Itulah yang dikhawatirkan Imam B Prasodjo bahwa ujung dari keributan itu nantinya adalah sengketa pemilu berkepanjangan. Potensi kerusuhan mungkin saja berasal dari kedua kubu.
Prof Muhammad AS Hikam di facebook 3 Juli mengatakan: Pemilu-2 di Indonesia sejak yg pertama pada 1955 sampai 2009 bisa dikatakan berlangsung baik, walaupun tentu kualitas penyelenggaraannya bisa diperdebatkan... Kenapa saat ini ada kekhawatiran terjadinya ketidak amanan dan bahkan potensi keributan? Saya kira salah satu penyebab utamanya adalah kontestan Pilpres yang hanya dua membuat persaingan menjadi sangat tajam dan "zero sum game." ... bahkan bisa disebut sebagai "neck-to-neck rally".
Kita punya kebiasaan mencari kambing hitam dari sebuah tragedi. Kalau sampai terjadi kerusuhan, siapakah yang salah? Mungkin Jokowi. Karena dia dilahirkan 1961 sehingga timingnya tepat buat dia di usianya yang ke-53 nyapres. Coba kalau dia dilahirkan 1971 atau 1951, mungkin ceritanya berbeda. Tentu saja lima kalimat terakhir ini hanyalah satire saja. Marilah kita berdo’a dan berusaha agar Pilpres tidak berubah menjadi chaos.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H