Masalah Mesir adalah masalah politik dan kebangsaan yang bercampur dengan keagamaan. Sehingga masalahnya menjadi sangat kompleks. Kabarnya, sampai dengan Selasa 9 Juli 2013 pagi, korban tewas mencapai 51 orang, kabar dari inilah.com.
Di antara kita ada yang memandang gejolak di Mesir adalah karena ditimbulkan oleh kepemimpinan Presiden M Morsi yang salah. Dan karena itu, teman kita ini akan membela tindakan militer yang mencopotnya. Di saat yang sama, teman kita yang lain mendebat, karena teman ini berkeyakinan bahwa Presiden M Morsi adalah Presiden yang sah yang terpilih secara demokratis.
Sikap pro atau kontra terhadap peristiwa pencopotan Presiden M Morsi bisa membuat seseorang menjadi berprasangka menuduh atau fanatik membela.
Sikap kontra terhadap pencopotan, saya lihat contohnya dalam sebuah grup WhatsApp yang saya ikuti, dengan judul tulisan yang berbunyi: “Kudeta atas Presiden terpilih Mesir—Koalisi Anti Islam berpesta pora.” Isinya antara lain berbunyi: “Keputusan ini bukanlah kejutan yang tiba-tiba muncul begitu saja, namun sudah sekian lama direncanakan oleh oposisi anti Islam, koalisi dari kaum Liberal, Sekular, Syi’ah, dan Kuffar. Militer sendiri tidak kuasa melawan intervensi asing untuk segera menggulingkan Dr. Mursi.”
Saya cari di bawahnya, tak ditemukan kapan mulai muncul rencana oposisi anti Islam itu. Tulisan itu dilanjutkan oleh teman lain, yang memuat tulisan ini: “Mereka saudara kita di Rabia e- Adawiya, masih bertahan dalam kesesakan. Membawa bekal seadanya. Perempuan, laki-laki, tua muda, anak-anak. Tapi perhatikan, mereka saling menyebarkan beberapa pesan.”
Salah satu pesan yang dimaksudkan itu berbunyi: “Membawa kain kafan. Sebagai isyarat tegas bahwa jalan konstitusi adalah harga mati. Presiden Mursi adalah harga mati. Jamaah adalah harga mati. Islam adalah harga mati. Setiap orang; perempuan, tua, muda, dewasa, anak-anak. Islam adalah harga mati. Tajarrud. Islam harga mati! Al Fatihah dan Doa Rabithah.”
Saya merasakan nada militansi dalam kalimat-kalimat itu. Nada-nada militan bukan hal baru di kalangan pendukung Dr (mantan Presiden) Morsi, yaitu Ikhwanul Muslimin atau IM. Sejarah panjang IM sejak 1950an, melahirkan kader-kader yang militan. Ada banyak bacaan perihal IM, salah satunya adalah tulisan responden BBC di Kairo, Ahmed Maher.
Selain dari contoh nada militan dalam grup WhatsApp yang saya ikuti itu, nada dan sikap militan banyak ditemukan di Indonesia. Mudah saja melihatnya, ketika tulisan tentang PKS dimuat di Kompasiana, maka sikap pro dan kontra segera saja menyeruak. Satu pihak sangat militan membela PKS sementara pihak lain sangat kuat sikap anti-pati mereka.
Ketika ada orang tidak bisa menerima sikap kedua pihak itu, muncullah cap atau label “tidak punya sikap” terhadap mereka.
Saya pikir, perkembangan politik dari masyarakat Islam di Mesir menarik dicermati agar ada pembelajaran yang dapat diterapkan buat upaya politik masyarakat Islam di Indonesia. Lebih bagus lagi, jika pembelajaran itu juga mencakup pembelajaran atas perkembangan politik masyarakat Islam di Turki dan Tunisia dalam lima tahun terakhir ini. Sebuah tulisan bagus saya temukan dari Reuter yang ditulis oleh Tom Heneghan. Meski Tom bernada menyalahkan Partai Ennahda sebagai parti penguasa Turki yang berdiam diri terhadap peristiwa serangan kelompok Salafi terhadap bioskop, konser, dan tempat ibadah kaum Sufi, tetapi tulisannya cukup fair dalam menggambarkan apa yang terjadi di tiga negara tersebut.
Di Indonesia banyak orang, baik yang Islam maupun yang non-Islam, khawatir dengan sukses partai berbasis Islam khususnya PKS dalam meraup suara pemilu 2009. Dari obrolan dengan berbagai orang, diketahui guyonan dan ejekan terhadap PKS. Misalnya nanti kalau Presiden RI dari PKS maka hiburan malam ditutup, minuman keras dilarang, pakaian tidak boleh terbuka, tidak boleh ada konser lagu, dan lain-lain.
Seandainya ada partai Islam, bisa PKS bisa partai lainnya bisa beberapa, berhasil menambah perolehan suara di Pemilu 2014, maka kekhawatiran terhadap perilaku pendukung partai Islam mungkin tumbuh.
Banyak di antara kita yang tidak menyadari perlunya sebuah kampanye ide atau gagasan yang harus didukung dengan tindakan nyata. Dalam Islam ada istilah da’wah bil lisaan (berdakwah dengan ceramah) dan dikenal juga da’wah bil haal (berdakwah dengan perilaku). Dalam kampanya Pemilu 2004, saya ingat para kader dan simpatisan PKS (mulanya Partai Keadilan) yang berpawai dengan tenang dan santun. Tindakan berpawai dengan santun dan berkampanye dengan tenang dan baik hanyalah satu perilaku yang terlihat masyarakat yang membuat banyak orang Islam jatuh hati. Maka suara pemilih banyak yang mereka raih.
Tetapi, PKS hari ini terlihat oleh masyarakat umum agak berbeda dari PKS saat mulai naik panggung politik bangsa, setidaknya berbeda dari apa yang dibayangkan dan diharapkan selama ini. Tentu saja bagi kader dan simpatisannya, PKS hari ini tidak berbeda dari PKS 10 tahun lalu.
IM sebagai organisasi yang mengalami tekanan dari Pemerintah Mesir selama puluhan tahun, tiba-tiba muncul sebagai pemenang pemilu dengan perolehan suara 40 persen setelah Presiden Mubarak lengser. Dibantu oleh Partai Nur (dari kaum Salafi), yang memenangkan suara Pemilu 20 persen, jadilah mereka Pemerintahan koalisi yang sangat kuat.
Tergantung dari mana kita berdiri memandang peristiwa pencopotan Dr M Mursi sebagai Presiden Mesir, maka sikap kita bisa sangat setuju dengan pencopotan itu atau sangat tidak setuju. Dengan perkataan lain, di antara kita ada yang senang dia didepak dari jabatannya dan sebagian lain menjadi bertambah antipati dengan Barat dan Israel.
Bagi yang tidak menyukai Dr M Mursi, mungkin bisa menyimak perkataan ekonom Citibank wilayah Timur Tengah, Farouk Soussa, yang mengatakan bahwa Militerlah yang men-drop tawaran bantuan IMF. Silakan simak tayangan ini di menit ke 02.15 di mana Farouk berkata “Pertama kali IMF memberi bantuan adalah ketika Mohammad Morsi belum menjadi Presiden, yaitu Mei 2011. Yang mendrop bantuan itu adalah Militer. Jadi, sebetulnya Morsi itu tidak anti-IMF, melainkan Militer. Padahal bantuan itu dapat meringankan beban ekonomi Mesir waktu itu.”
Dalam konteks Indonesia, kubu yang militan (apa pun organisasi atau partainya) meraih kemenangan politik haruslah disertai dengan kewaspadaan dari kemungkinan terjerumus ke dalam perilaku yang merugikan diri. Belajarlah dari apa yang terjadi di Mesir, Turki, dan Tunisia.
Sebaliknya, bagi kubu yang tak menyukai kelompok militan, haruslah menyadari bahwa melihat secara obyektif itu perlu dan malah menguntungkan.
Sebagai penutup, di mana pun kita berdiri, hendaknya kita mempertahankan kesantunan bertutur dan berkomentar (kepala tetap dingin meski hati panas), konfirmasi dulu kalau menerima berita jelek yang merugikan pihak “mereka,” tetap bersikap terbuka, berani mengakui salah jika salah, dan tulus mengakui kebenaran/kemenangan pihak lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H