Demam politik, khususnya Pilkada DKI, telah mempengaruhi masyarakat secara luas. Bukan cuma penduduk DKI, tetapi juga penduduk Bodetabek dan penduduk Indonesia di luar Jabodetabek. Bukan hanya tingkat akar rumput, tetapi juga tingkat menengah masyarakat juga sebagiannya heboh.
Kehebohan yang tidak melulu pada dunia maya, melainkan juga dunia nyata. Perseteruan pribadi di dunia maya, berlanjut ke perseteruan pribadi di dunia nyata.
Tentu saja, tak semua orang masuk dalam kelompok demikian. Banyak orang yang memutuskan berdiam diri dari segala kehebohan politik. Sehingga dengan itu mereka terhindar dari perseteruan pribadi. Mereka menjauh dari hingar bingar kemelut politik, sehingga mereka  terhindar dari perdebatan yang tidak perlu. Mereka tidak membiarkan diri terpancing oleh kata-kata yang tajam menyindir sehingga mereka terhindar dari pertikaian antar kubu. Dengan itu mereka terselamatkan dari kubangan kubu sini maupun kubangan kubu sana. Dengan itu pula, mereka terhindar dari jebakan rasa benci yang tidak perlu.
Sebenarnya, kubu sini maupun kubu sana sama-sama memiliki orang-orang yang masih mampu berpikir waras. Yang populer dengan istilah masih punya common sense, nalar pikir yang sehat.
Tetapi, sayangnya yang berisik dan gaungnya kuat menggema kesana kemari sehingga punya impact kuat ada juga di masing-masing pihak. Justru masing-masing kubu punya orang-orang semacam ini.
Ini yang seringkali tidak disadari oleh orang-orang yang hobi mengamati dan memperbincangkan kelakuan kubu lawan. Amatan dan bincangan yang mereka lakukan yang dibungkus dengan kata-kata indah memikat membuat kelompok sendiri terinspirasi, sekaligus membuat kelompok lawan tambah sakit hati.
Lalu, amatan dan bincangan itu berbalaskan amatan dan bincangan yang setimpal. Itu pada soal amatan atau pengamatan dan bincangan atau perbincangan. Pada soal ledekan atau cemoohan, hal yang sama terjadi. Ledekan berbalaskan ledekan. Cemoohan berbalaskan cemoohan. Sindiran berbalaskan sindiran. Serangn berbalaskan serangan.
Masing-masing kubu merasa lebih benar.
Maka muncul kubu ketiga yang mengambil sikap berdiam diri. Yang tak mau terlibat pada kubu manapun, meskipun punya sikap yang dekat dengan salah satu kubu. Mereka merasa bahwa kehebohan di masyarakat yang berasal dari kehebohan politik telah merasuk sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan hubungan pribadi dan hubungan kelompok tidak dalam suasana yang harmoni dan sejuk.
Rasa damai sepertinya tak lagi ada. Rasa guyub hanya pada sesama kubu saja terjadinya. Tak lagi ada rasa guyub dan damai antara pribadi atau kelompok yang sesungguhnya seiman. Karena ada perbedaan persepsi yang tajam dan dianggap prinsipiil tentang penistaan agama maka silaturrahim itu menurun prioritasnya. Itu karena sikap membela agama lebih penting dan lebih prinsip daripada sikap silaturrahim. Itu karena sumber inti masalah adalah dugaan penistaan agama.
Itu semua terjadi karena satu kubu percaya jelas-jelas telah terjadi penistaan agama yang tak termaafkan dan kubu lainnya menganggap bahwa dugaan penistaan agama itu kalau pun ada sebenarnya dapat dimaafkan. Maka masyarakat pun terbelah menjadi dua terkait hal ini. Perdebatan keras pun terjadi. Sampai-sampai menjadi sebuah peperangan terbuka di dunia maya.