'Musuh' di Tahun 2016
Lalu pada tahun 2016, muncullah 'musuh bersama' (bagi umat Islam) yang berwujud pada diri seorang gubernur yang dituduh telah menista agama (Islam). Meski bukan kebersatuan bangsa, melainkan kebersatuan umat Islam, tetapi gaung dari aksi damainya pada tanggal 2 Desember 2016 (Aksi Bela Islam 212) relatif besar.
Pada tanggal 9 Desember 2016, harian Republika menulis berita terkait aksi 2 Desember itu:
"Gelombang aksi unjuk rasa yang diikuti jutaan Muslim dinilai menggambarkan ada sejenis ketakpuasan di kalangan umat Islam soal peran pemerintah dalam keadilan sosial. Terkait hal itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang tengah menjalani silaturahim kerja nasional (silaknas) di Jakarta mempelajari situasi tersebut."
Banyak ulama dan masyarakat Islam yang sepikiran dan sehati mengenai 'musuh bersama' dalam diri seseorang Gubernur DKI yang sekarang sedang cuti itu—meski ada ulama dan masyarakat Islam lainnya tidak sependapat. Tetapi, menjadi pertanyaan apakah 'musuh bersama' yang abstrak sebagaimana ditulis berita Republika itu (yaitu 'ketidakpuasan Umat Islam atas peran Pemerintah dalam keadilan sosial') akan dapat meneruskan kebersatuan Umat Islam dan terwujud pada perjuangan bersama menegakkan keadial sosial?
Keberhasilan para ulama, politisi, dan masyarakat Islam dalam menegakkan keadilan sosial dalam semangat 'rahmatan lil ‘aalamiin' sudah tentu akan membawa efek positif bagi seluruh rakyat Indonesia. Bisakah umat Islam Indonesia bersatu dan membawa negeri ini mewujudkan 'rahmatan lil ‘aalamiin' sehingga 'Persatuan Indonesia' dan 'Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia' bakal terwujud dengan sendirinya?
Itu adalah tantangan bagi bangsa ini, khususnya masyarakat yang menganut keyakinan Islam. Sedangkan penjabaran tantangannya dalam level pribadi saya pikir seperti dalam paragraf berikut ini.
Saya sebagai salah seorang dari umat Islam sekaligus sebagai salah satu anggota masyarakat Indonesia sudah tentu jawaban saya adalah “Saya bisa berpartipasi mewujudkan tantangan itu, karena ‘musuh’ saya bukanlah dalam wujud orang (yang dituduh menista ulama dan Quran), melainkan musuh yang abstrak berupa tantangan apakah saya bisa menjalankan ajaran Islam sebaik-baiknya, memperjuangkannya dengan baik, dan mewujud pada akhlak yang baik, di rumah tangga saya, di lingkungan tempat tinggal saya, di tempat kerja saya, dan di masyarakat.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H