Keputusan untuk memilih persalinan dengan bantuan bidan menjadi kuat karena pemahaman yang utuh. Apalagi keluarga juga memperkuat dukungan dengan kesamaan pandangan. Itulah yang yang saya alami sebagai calon kakek pada Januari 2014.
Anak lelaki saya dan istrinya sudah mantap bahwa persalinan bayi mereka akan dilakukan di sebuah klinik yang dikelola oleh seorang bidan berpengalaman. Anak saya bekerja di salah satu bank besar di Tanah Air. Tentu saja salah satu artinya adalah biaya persalinan akan dibantu perusahaan, termasuk jika harus dilakukan di Rumah Sakit dan ditangani dokter.
Ketika anak saya ditanya rekan kerjanya mau melahirkan di rumah sakit mana, dia menjawab di bidan, rekannya itu kaget. “Kok bidan sih?” Itulah reaksinya. Seorang rekannya yang lain menimpali: “Kamu serius?! Ini kan anak pertama.” Tentu saja anak saya menjawab ya itu serius.
Bahkan seorang rekan lainnya lagi mengucapkan ini: “Jangan bikin malu Bank ... [nama bank] dong.” Anak saya menjawab: “Insya Allah baik-baik saja, soalnya bidannya berpengalaman.”
Tetangga saya pun juga tak kalah kagetnya dengan rencana itu. Rata-rata, reaksi mereka adalah ini anak pertama sehingga sebaiknya ditangani dokter. Nanti anak kedua dan seterusnya barulah ditangani bidan. Begitulah pandangan mereka.
Sebenarnya, apa yang mereka katakan terjadi pada anak-anak saya. Anak pertama lahir dengan bantuan dokter di sebuah klinik bersalin di Jakarta Selatan. Anak kedua, meski dilahirkan di klinik bersalin yang sama dua tahun kemudian, dibantu oleh bidan. Kenyataannya ya anak kedua itu lahir dengan aman.
Menantu saya, dulu juga dilahirkan dengan bantuan bidan, di sebuah kota di Jawa Tengah. Adiknya yang semata wayang dilahirkan dengan bantuan bidan juga di kota Jambi, saat ayah mereka bertugas sebagai PNS di sana. Rekan-rekan besan saya itu sempat membujuk dia agar sang istri melahirkan dengan bantuan dokter. Besan saya mengatakan terima kasih untuk dorongan itu, tetapi akan tetap meminta bantuan bidan untuk membantu proses persalinan istrinya.
Yang mereka tidak ketahui adalah bahwa besan saya menyaksikan sendiri sebuah peristiwa bagaimana ada dokter yang membujuk seorang ibu hamil agar persalinannya dilakukan dengan operasi caesar. Padahal kondisi sang ibu itu, yang tidak ada hubungan sama sekali dengan besan saya, baik-baik saja.
Besan saya juga mengetahui bahwa bidan yang akan membantu adalah orang yang berpengalaman dengan proses persalinan. Jadi dia percaya betul untuk proses persalinan itu nantinya. Dan nyatanya, anaknya yang ketiga lahir dengan selamat dan baik-baik saja.
Di luar dari itu semua, kami sekeluarga mendengar cerita-cerita tentang bujuk rayu oknum dokter agar pasien mereka melahirkan dengan proses operasi. Termasuk yang istri saya dengar langsung dari salah satu tetangga yang etnik Cina. Tetangga ini yang anak kedua dan anak ketiganya adalah perempuan dikondisikan sedemikian rupa sehingga persalinan mereka adalah persalinan dengan operasi. Tetangga kami ini sampai ngomel-ngomel. Dan akhirnya juga curhat ke istri saya.
Meski banyak dokter yang baik yang bekerja di RS umum maupun RS Ibu dan Anak, cerita-cerita oknum dokter seperti itu turut memperkuat niat kami sekeluarga untuk rencana persalinan dengan bantuan bidan. Dan berkat izin Tuhan Yang Maha Kuasa, cucu saya lahir dengan selamat pada tanggal 30 Januari 2014 dengan bantuan bidan yang telah dipilih sejak awal kehamilan.
Keesokan harinya, ketika sedang berselancar di dunia maya, saya sampai ‘tersangkut’ pada sebuah berita soal bidan. Judulnya sempat mengagetkan saya, yaitu Kualitas Bidan Indonesia Diragukan. Wah apa ya persisnya. Maka saya pun membukanya.
Isinya menyebutkan bagian yang membuat hati kecut, yaitu Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, adalah 359 per 100.000 kelahiran menurut data SDKI 2013. Dan ini menurut SDKI adalah tinggi. Meskipun cucu saya telah lahir dengan selamat, membaca berita itu sungguh memprihatikan.
Saya kutipkan di sini, dari berita itu:
[Menurut] Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Emi Nurjasmi, pada Kompas Health, penurunan kualitas bidan merupakan akibat dari lemahnya pengawasan akademi kebidanan. Sementara akademi kebidanan jumlahnya terus meningkat. Dampaknya, peningkatan jumlah lulusan tidak sebanding dengan mutu yang diberikan.
“Dulu akademi kebidanan berada di bawah pengawasan Kementerian Kesehatan RI sebelum beralih pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal inilah yang kemudian mengubah pengawasan. Namun saat ini kita sedang berusaha memperbaiki standardisasi yang dimiliki,” tutur Emi.
Setelah membaca lengkap semuanya (silakan baca di sini), saya bersyukur bahwa kami sekeluarga yang tinggal di Tangerang Selatan, cukup memiliki akses pada profesi bidan yang berpengalaman. Rumah Sakit besar pun dalam jangkauan jarak yang relatif dekat. Ini tentu saja sebuah keberuntungan, yang tak dimiliki penduduk yang berada di wilayah di luar kota apalagi yang berada di daerah terpencil.
Mungkin maksudnya banyak teman dan tetangga yang khawatir “Kenapa bidan? Kenapa tidak dokter?” karena terpengaruh oleh berita secara nasional bahwa kualitas bidan masih mengkhawatirkan. Tentu saja, kalau kita tahu dengan benar bahwa bidan yang akan membantu persalinan anak/menantu atau istri adalah bidan yang berpengalaman, maka kekhawatiran itu seharusnya lenyap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H