Mohon tunggu...
Hendri Ma'ruf
Hendri Ma'ruf Mohon Tunggu... lainnya -

Hobi "candid photo," suka traveling, dan senang membaca plus menulis. Pernah bekerja di perusahaan, sekarang berkarya mandiri. Meminati masalah kepemimpinan, manajemen, dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dear Ibu Megawati

16 April 2014   21:30 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:36 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ibu Megawati Soekarnoputri yang saya hormati. Tulisan ini adalah curhat seorang warga masyarakat yang menaruh harapan besar pada Ibu dan pada pak Jokowi. Karena harapan dan rasa sayang, mungkin ada bagian yang kurang menyenangkan bagi Ibu. Maafkan saya.

Sejak Pemilu tahun 1970an saat saya ikut nyoblos pertama kali hingga 2009, saya tidak pernah memilih PDI ataupun PDIP. Bukan karena tidak suka, tetapi karena pikiran saya “tersedot” pada gagasan-gagasan yang ada pada beberapa partai lain. Baik gagasan yang mereka ungkapkan secara verbal, maupun gagasan yang saya tangkap dari kombinasi bahasa verbal dan bahasa perilaku mereka. Pernah juga tak satupun gagasan parpol yang mampu menggerakkan hati dan pikiran sehingga saya pun golput.

Pileg 2014 ini istimewa bagi saya karena pertama kali muncul sebuah gagasan yang telah lama saya nantikan, yang mungkin dinantikan oleh banyak orang. Gagasan ini boleh juga disebut ide atau konsep atau filosofi—sesuai dari sudut pandang orang yang melihatnya. Yaitu: “Dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan per hari ini muncul seseorang yang mempunyai nilai kepemimpinan sangat pas untuk membawa bangsa ini bergerak maju.”

Saya bukan politikus. Saya tidak suka politik, baik politik nasional maupun politik kantor (office politics). Dan tak pernah saya ikut-ikutan partai walaupun sekedar simpatisan. Saya hanyalah seorang profesional kantoran biasa, profesional yang secara guyon adalah sarjana a yang kuli di ruang ber-AC. Dan jumlah kuli semacam saya di Indonesia mungkin hanya 300-400 ribu orang. Teramat kecil dibandingkan total tenaga kerja Indonesia yang mencapai bilangan 119 juta jiwa.

Mungkin Ibu sudah mempelajari berapa persen dari orang-orang semacam saya yang mencoblos PDIP dalam Pemilu Legislatif tanggal 9 April 2014. Semula saya bersikap “Jokowi Yes, PDIP No.” Tetapi istri saya berpendapat kalau memang mendukung pencapresan Jokowi, mengapa setengah-setengah. Ya nyoblos PDIP, kata istri saya. Benar juga, saya pikir. Maka baru kali ini dalam seumur hidup saya memilih PDIP karena saya sangat berharap bahwa Jokowi memperoleh kepercayaan rakyat Indonesia untuk menggoyang dan menggerakkan mesin besar bernama Birokrasi untuk kemaslahatan rakyat dan untuk kemajuan bangsa.

Jokowi dari kacamata kepemimpinan dan manajemen layak memperoleh kepercayaan itu. Benar bahwa dalam beberapa bulan di awal kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI menerima tentangan keras dari DPRD DKI (seperti contoh kasus pembersihan sebuah jalan dari PKL dan pengesahan APBD 2014 yang molor) dan bahkan kurang dukungan dari sebagian anak buah (seperti contoh bis-bis pesanan dari Cina utk TJ yang ternyata langsung rusak hanya dalam waktu singkat).

Tetapi baru di era Jokowi-lah rakyat terbuka oleh adanya tarik-ulur antara Pemda DKI dan DPRD DKI. Bagi kebanyakan rakyat, itu adalah permainan-permainan politik belaka yang mengorbankan kepentingan rakyat. Ketika MRT berhasil dimulai pembangunannya, bagi rakyat, keberhasilan itu dan keberhasilan-keberhasilan lain (seperti mengembalikan fungsi Waduk Pluit) adalah keberhasilan Jokowi menggerakkan mesin Birokrasi.

Betul bahwa para pejabat dan pegawai Pemda DKI adalah manusia, bukan mesin. Tetapi, ketika tiba saatnya harus bergerak untuk melayani rakyat, ternyata mereka tidak bergerak. Mereka tidak bertindak selayaknya pejabat/pegawai yang punya knowledge, skills, dan attitude. Mereka baru bergerak ketika digebrak—yaitu melalui blusukan yang melahirkan temuan dan melalui lelang jabatan. Contoh nyata adalah Kantor Kelurahan yang semakin service-oriented.

Mata saya terbuka, dan mungkin juga banyak mata rakyat yang terbuka, untuk melihat bahwa yang berhasil digerakkan oleh pak Jokowi bukan hanya Birokrasi Pemda DKI, melainkan juga DPRD DKI. Itu terbukti ketika hendak dilakukan voting untuk menyetujui atau menolak sebuah rancangan keputusan Pemda DKI, DPRD DKI yang notabene 83% adalah “lawan” politik dalam dukungan peng-Gubernur-an, bersedia menyetujui alias mendukung.

Gebrakan-gebrakan yang membangunkan para Abdi Negara dalam kumpulan Birokrasi itulah yang sangat diharapkan terjadi. Mereka harus dibangunkan dari “tidur” yang lama. Mereka harus bangun dan berkiprah untuk bersama rakyat mengejar ketertinggalan negri kita dari negeri-negri tetangga. Gebrakan juga diharapkan terjadi pada pilar legislatif dan pilar yudikatif. Memang bukan wilayah pak Jokowi (seandainya beliau terpilih menjadi Presiden) untuk cawe-cawe di dua pilar yang bukan tanggung-jawabnya itu. Tetapi gebrakan tak langsung beliaulah yang diharapkan mempengaruhi dua pilar itu.

Sebagian rakyat seperti saya sangat antusias melihat perubahan mentalitas dan orientasi para abdi negara, baik di Pemerintahan maupun di DPR dan Lembaga penegak hukum (Kejaksaan, Kehakiman, Polri). Kami ingin mengawal dari kejauhan. Kami ingin membantu dari kejauhan. Kami ingin mengontrol dari kejauhan—sesuai kemampuan akses kami, daya mobilitas kami, dan sesuai protokol hukum yang berlaku.

Sebuah contoh sederhana. Ketika politik uang marak terjadi, itu karena apa? Karena elit politik membaca peta lapangan di mana kebanyakan rakyat membutuhkan bantuan sekecil apa pun itu, termasuk Rp 25.000,-, maka transaksi pun terjadi. Satu pihak butuh suara, pihak lain butuh uang. Kedua pihak jelas salah. Ada contoh lain di mana masyarakat terang-terangan meminta kepada seseorang caleg untuk memperbaiki jalan kalau caleg itu ingin memperoleh suara mereka. Ketika sang caleg memenuhi tuntutan itu, maka jelaslah kedua pihak bersalah. Meski bentuknya bantuan perbaikan infrastruktur, yang artinya tidak dikonsumsi orang per orang, tetap saja itu adalah transaksi politik. Kedua pihak saling mengikat janji meski tak tertulis, bahwa yang satu membeli suara yang lain menjual suara.

Elit politik yang berada dalam posisi lebih kuat dan mulia seharusnya memulai bertindak bersih. Rakyat harus dididik. Dan rakyat hanya bisa diajak berperilaku benar jika elit politik pun bertindak benar. Itulah yang diharapkan terjadi pada partai yang Ibu pimpin, semoga pengurus dan aktivis partai Ibu menjadi semakin lebih baik (perkara partai lain tidak berbeda, itu soal lain).

Pak Jokowi menjadi tokoh yang dijadikan basis penilaian. Dalam bahasa manajemen, beliau disebut sebagai benchmark. Maksudnya, tokoh-tokoh lain yang setara ketokohannya akan dibandingkan dengan pak Jokowi. Apakah berorientasi pelayanan publik seperti dia? Apakah se-merakyat dengan dia? Apakah sesederhana dia? Apakah sebersih dia?

Bicara soal bersih dari korupsi, kita bisa catat berita tentang kebocoran APBN yang jika itu tidak terjadi, nilainya bisa menjcapai Rp 5.000 Triliun, seperti dikatakan Ketua Panitia Kerja RUU Keuangan Negara dalam sebuah diskusi awal Maret tahun lalu. Kebocoran-kebocoran keuangan negara itu mulai dari hulu sampai ke hilir, sambungnya. Di sinilah peran seorang “Joko Widodo” diharapkan. Jika bukan dengan tindakannya yang langsung, diharapkan dampak tidak langsungnya yang dapat mempengaruhi pengurangan kebocoran tersebut.

Pak Jokowi sempat terlihat seperti demam panggung. Siapa pun yang memasuki dunia baru dan keadaan baru—apalagi sebagai capres, akan demam panggung. Wajar saja. Dan Ibu sebagai mentor bagi pak Jokowi diharapkan tidak banyak menggurui. Cukuplah Ibu memberi catatan dan pengantar di awal. Lalu lepaskan dia dalam pengambilan keputusan. Percayai dia untuk memimpin. Termasuk diberi hak veto dalam keputusan-keputusan penting. Mungkin Ibu tetap memiliki hak veto untuk menentukan siapa cawapres.

Tetapi, untuk urusan strategi pemenangan, mohon berikan ruang gerak kepadanya. Berikan dia hak veto. Dan dukunglah pak Jokowi dengan berpihak padanya ketika dia berbeda pendapat yang tajam dengan mbak Puan. Ibu harus tahu kapan mendahulukan kepentingan yang lebih besar daripada kepentingan membela putri tercinta.

Nanti mulai bulan Juli, jika Allah menakdirkan pak Jokowi menjadi Presiden, tolonglah Bu agar memberi ruang gerak yang besar dan kepercayaan penuh kepadanya. Sebagai mentor, Ibu lebih baik marah di awal sebelum sebuah keputusan dibuat dan bukan marah seumpama ada keputusan pak Jokowi yang tidak menyenangkan Ibu. Sebagai mentor, Ibu lebih baik menahan diri untuk tidak berpendapat di depan umum bahkan di depan petinggi Partai.

Akan mulia dan elok kalau Ibu berpendapat kepadanya secara empat mata. Itupun jangan sering-sering, karena bukan saja akan mengganggu kredibilitas pak Jokowi (seandainya dia memang jadi Presiden) tetapi juga akan mengganggu kredibilitas Ibu sendiri.

Tolonglah mempercayai naluri pak Jokowi. Memberi kepercayaan kepadanya memang berarti Ibu (harus) rela melepas hak-hak veto. Ibu sudah harus memilih hal-hal pokok saja yang menjadi wilayah hak veto Ibu. Pada hemat saya, mengambil sesedikit mungkin itu lebih baik.

Pak Jokowi juga membutuhkan waktu untuk beradaptasi menjadi Presiden (jika itu kehendak Allah). Dalam prosesnya itu, mungkin Ibu juga harus turut beradaptasi untuk menjadi mentor. Seiring dengan itu, sebenarnya Ibu berproses menjadi negarawan yang bakal menginspirasi banyak rakyat.

Ini adalah harapan saya, dan mungkin juga harapan sebagian rakyat agar pak Jokowi memang menjadi Presiden dan agar mengambil tindakan yang serba tepat, baik tepat cara, tepat sasaran, tepat biaya, maupun tepat waktu (timely). Semoga pak Jokowi sukses membangunkan “singa” yang ada dalam diri bangsa Indonesia untuk bergerak maju.

Selamat dan semoga sukses Bu menjadi mentor bagi calon Presiden Joko Widodo.

(Doa saya adalah semoga tulisan ini dapat mencapai laptop salah satu timnya Bu Megawati. Aamiin.)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun