Mohon tunggu...
Hendri Ma'ruf
Hendri Ma'ruf Mohon Tunggu... lainnya -

Hobi "candid photo," suka traveling, dan senang membaca plus menulis. Pernah bekerja di perusahaan, sekarang berkarya mandiri. Meminati masalah kepemimpinan, manajemen, dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Presiden Itu Ya Serupa CEO

3 Februari 2015   22:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:53 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1422968557849612209


Seorang manajer di perusahaan bisnis, akan melihat peran dan sepak terjang Presiden RI dari kacamata yang berbeda dari kalangan lain yang di luar dunia usaha. Mungkin saja ada kalangan tertentu yang cara memandangnya sama dengan manajer.

Seorang manajer, baik pada tingkat menengah ataupun tingkat atas yang disebut General Manager atau VP, melihat pemangku jabatan Presiden sama halnya dengan melihat pemangku jabatan Direktur Utama atau CEO (Chief Executive Officer) dalam perusahaan. Akankah sang Presiden mampu memimpin “kapal” bernama “Pemerintah” itu mewujudkan rencana tahunan dan rencana jangka panjangnya yang lima tahun. Itu sama saja dengan mempertanyakan seorang CEO apakah mampu mewujudkan rencana tahunan dan rencana jangka panjangnya.

Itu secara sederhananya.

Bagi seorang manajer, Presiden dan CEO itu sama dalam satu hal, memimpin atau to lead dalam bahasa Inggrisnya sehingga jabatan mereka itu sama yaitu pemimpin alias leader.Secara mudah dan sederhananya itulah peran mereka masing-masing.

Tentu saja magnitude kesulitannya tidak bisa disamakan, karena satu hal saja yang membuat perbedaan besar keduanya, yaitu politik. Meski para manajer dan CEO mengetahui soal office politics dan mengambil sikap yang baik dan benar terkait office politics.

Arti kata-kata office politics kurang lebihnya adalah permainan kekuatan kedudukan yang dikombinasikan dengan jaringan pertemanan di kantor untuk tujuan mencapai sasaran perusahaan dan sekaligus keuntungan kelompok. Tetapi, yang sering terjadi adalah pemain office politics lupa pada tujuan perusahaan dan hanya ingat tujuan kelompok. Itulah akibat buruknya permainan office politics. Namun, manajer yang baik tahu diri. Dia takkan melibatkan diri dalam permainan office politics tetapi dia tidak akan memusuhi para pemain office politics itu. Boleh dikatakan bahwa semua pemain office politics di dalam organisasi yang profesional menemui karir yang kurang baik atau bahkan tidak baik.

Karena itu, manajer yang baik tahu bagaimana berkata dan bertindak di kantor yang penuh dengan permainan office politics. Dia takkan mengangkat issue yang sensitif dalam rapat, dia mempertahankan sikap profesionalnya dalam cara yang sopan dan baik (a.l. tidak membanggakan diri dengan sikap profesionalnya itu), berusaha meyakinkan atasan dan rekan kerja dengan argumen faktual dan sikap sopan jika banyak gagasannya dikandaskan pemain office politics, dia melakukan pendekatan pribadi yang baik kepada sebanyak mungkin orang di kantornya, dan cara-cara lain dalam menyikapi office politics dengan benar. Satu hal penting yang tak dilupakan seorang manajer yang tangguh adalah dia tulus dengan segala perilaku yang profesional dan baik. Dengan itu dia takkan menyimpan rasa sakit hati ketika dia kalah dalam permainan office politics sebab dia sadar dia berpeluang memenangkan perang meski kalah dalam satu dua medan pertempuran (maybe losing some battles but will win the war eventually).

Tentang Presiden, dia tidak bisa tidak harus bermain politik. Betapapun jujur dan bersih seseorang sebelum menjadi pejabat negara, dia harus bergabung dengan pemain politik yang tidak lain para politisi partai, ketika dia memutuskan menjadi walikota, gubernur, apalagi presiden.

Ketika memutuskan bergabung dengan sebuah partai, sebenarnya seseorang calon pemimpin (kota ataupun negara) telah mengikat janji politik. Dia telah melakukan transaksi politik dengan partai pengusungnya. Konon kabarnya, ketika Joko “Jokowi” Widodo mengetahui peluang menjadi Presiden dari survei dan melihat ada peluang menunjukkan hasil survei itu kepada pemimpin partai dimaksud, dia mengupayakan agar informasi itu bisa sampai ke tangannya.

Singkat cerita, ketika dia terpilih menjadi Presiden, budaya Jawa pada dirinya yang kuat membuatnya tidak bisa menolak adanya usulan agar seorang Komjen Polisi yang sebelumnya telah diketahui bermasalah dengan rekening gendung diangkat sebagai calon Kapolri (Syafii Maarif mengatakan di media massa bahwa ide pencalonannya bukan dari Jokowi). Tampaknya, posisinya sebagai kader yang belum lama bergabung di partai membuatnya tahu diri, untuk tidak besar kepala menunjukkan otoritas ke-Presiden-annya. Apalagi partai pengusung itu dibantu oleh partai pengusung lain dan konon beritanya Wakil Presiden pun turut berperan memperkuat usulan itu.

Ternyata suara penolakan muncul. Suara pro dan kontra pun terdengar. Situasinya kemudian berkembang sedemikian rupa sampai membuat dua institusi penegak hukum saling menyandera.

Mungkin saja Jokowi telah terjebak dalam kekuatan elit politik nasional yang sekarang menikmati kemenangannya dalam Pilpres 2014. Di sebuah akun Facebook, seorang wartawan yang dekat dengan tokoh dan pejabat menulis status bahwa elit politik pendukung Presiden tidak menyangka bahwa suara masyarakat pemilihnya di pilpres lantang menolak pencalonan Komjen tersebut.

Suara keras para pemilihnya tampaknya menjadi pertimbangan Presiden dan sekaligus menjadi peluang untuk menunjuk tokoh-tokoh masyarakat tertentu menjadi tim independen yang memberi masukan tentang jalan keluar atas kemelut dua institusi itu.

Sampai artikel ini ditulis, belum terdengar keputusan Presiden perihal Komjen calon Kapolri dan perihal penanganan kedua institusi yang sedang berseteru dan saling menyandera itu.

Terlepas dari soal itu semua, peran Presiden RI hari ini mirip peran CEO untuk perusahaan yang sedang bermasalah. Dalam mengelola perusahaan demikian, dikenal jurus turn-around strategy atau disebut juga corporate turn-around.

Berikut ini dikutipkan arti kata-kata itu pada BNET business dictionary: “Tindakan-tindakan yang perlu untuk menyelamatkan organisasi dari kegagalan bisnis dan menormalkan kembali operationalnya dan kondisi keuangannya. Manajemen turnaround biasanya membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan umumnya mencakup restrukturisasi perusahaan, investigasi akar masalah kegagalan, dan program jangka-panjang untuk merevitalisasi organisasi.”

Cukup layak jurus corporate turn-around itu diterapkan pada organisasi Pemerintah Indonesia. Khususnya jika menyimak pencapaian prestasi Pemerintah Indonesia dibandingkan prestasi Pemerintah negara lain.

Dalam beberapa hal—atau mungkin banyak hal?! Indonesia tertinggal dari rata-rata pencapaian negara-negara ASEAN. Ada satu contoh menarik untuk dikemukakan (contoh ini menunjukkan puncak gunung es saja dari masalah besar dan serius yang dihadapi Bangsa Indonesia).

Pada bulan Januari 2015, majalah the Economist memuat secara on-line perbandingan nilai tukar mata uang secara global. Agar mudah dibuatlah perbandingan dengan menggunakan harga sepotong burger di McDonald’s, khususnya Big Mac. Terasa lucu bahkan disebutkan ini sebagai Burgernmics.

Indonesia, PDB per kapita US$ 3.510 dengan harga Big Mac di MacDonald’s di Jakarta senilai US$2,24, sementara di Filipina dengan PDB per kapita $2.791 harga Big Mac di McDonald’s Filipina sebesar $ 3,67. Dengan perbandingan ini Indonesia dalam kondisi lebih baik, karena perbandingan PDB perkapita terhadap harga Big Mac, masing-masing menjadi 1.567 X dan 760 X.

Tetapi, dengan memasukkan faktor purchasing-power parity (PPP), maka ketahuanlah bahwa posisi Indonesia itu justru berada lebih rendah dibandingkan posisi Filipina dalam daftar majalah Economist itu.

Dalam daftar Big Mac Index itu, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam berada di atas Indonesia. Sementara Malaysia berada di bawah Indonesia.

Menyangkut kesejahteraan masyarakat umum atau rakyat kebanyakan dan prestasi secara tim—termasuk tim olahraga, dapatlah dikatakan bahwa Indonesia tertinggal dari negara-negara ASEAN.

Dalam hal itulah Bangsa Indonesia membutuhkan corporate turn-around, khususnya di Pemerintah, termasuk pada lembaga legislatif dan lembaga yudikatifnya. Dan seperti disebutkan dalam definisi di atas, salah satu yang dibutuhkan adalah pemimpin yang kuat.

Apakah Presiden RI yang sekarang masuk kategori “pemimpin yang kuat”? Mungkin dia tidak sekuat yang diharapkan melakukan turn-around strategy. Secara wacana, Presiden Joko Widodo sudah tepat dengan gagasan Revolusi Mental-nya. Tetapi dalam 100 hari pertamanya, sudah terlihat bahwa politik masih menjadi panglima. Politik sebagai panglima masih menjadi budaya elit bangsa ini. Dan Presiden Joko Widodo tampak kewalahan menangani budaya yang sudah berukar-berakar di elit politik Negri ini. Dan ini sudah tentu menghalangi niat baik dan kerja baik seorang Presiden berikut Kabinet-nya.

Kepemimpinan Bangsa Indonesia seharusnya dipikul bersama oleh elit politik yang mau melepas ego masing-masing demi kemajuan bangsa. Tuntutan keberhasilan Kepemimpinan Nasional tidak bisa dibebankan ke pundak seorang Joko Widodo saja, tetapi juga pada pundak-pundak tokoh-tokoh nasional baik yang satu kubu maupun yang tidak satu kubu. Rakyat sebagai stakeholder utama sudah lelah menanti prestasi Pemerintahnya selama puluhan tahun.

Sebagai penutup dapatlah disampaikan bahwa ini hanyalah pandangan pribadi dari salah seorang mantan manajer. Wallahu a’lam bish-shawab/And Allah Knows the Right.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun