Oleh Hendrikus Adam[1]
Tanggal 5 Agustus 2010 silam, sebuah tayangan bertajuk “Menggapai Sejahtera di Perbatasan” mengisi ruang publik melalui layar kaca (televisi). Sebuah tayangan yang menampilkan seakan-akan komunitas Dayak Iban di Semunying Jaya telah meraih kesejahteraan atas hadirnya perusahaan kelapa sawit PT. Ledo Lestari (LL).
Menyadari tayangan liputan yang dianggap menyesatkan karena telah mengaburkan hakikat dari kondisi yang sesungguhnya, maka warga Semunying pada 29 Agustus 2010 menyatakan protes kepada pihak Metro TV.
Setidaknya ada dua hal yang dilakukan warga di perbatasan tersebut saat itu yakni melakukan konferensi pers dan melayangkan nota protes yang ditujukan langsung kepada pihak yang menayangkan.
Seiring bergulirnya waktu, video yang pernah mendapat penolakan warga kemudian ditayang kembali melalui stasiun televisi yang sama dalam beberapa waktu terakhir. Setidaknya video tersebut ditayang berulang kali melalui tayangan Metro Televisi (siaran percobaan stasiun Kalimantan Barat).
Apa sesungguhnya motif dibalik penayangan kembali video yang telah nyata ditolak oleh warga Semunying Jaya sejak tahun 2010 silam? Tentu kalimat ini tidak berlebihan dilontarkan. Keberanian stasiun televisi swasta nasional menayangkan kembali tersebut menimbulkan tanya, mengapa dan ada apa?
Protes Warga
Pernyataan keberatan warga Semunying Jaya ketika melakukan konferensi pers terhadap tayangan acara OASIS Metro TV lima tahun lalu bukan tanpa alasan. Dalam sebuah konferensi pers, warga Desa Semunying Jaya dengan tegas membantah kondisi yang dikisahkan dalam tayangan acara OASIS.
Momonus, tokoh masyarakat setempat misalnya menyatakan bahwa sebagai Kades Semunying Jaya, dirinya tahu persis situasi maupun kondisi masyarakatnya. Video yang menggambarkan warga Semunying Jaya telah sejahtera tidaklah benar.
Menurutnya saat itu, kenyataannya sekitar 99% warga Desa Semunying Jaya kondisinya masih miskin. Telah banyak kasus yang dialami sejak masuknya anak perusahaan Duta Palma tersebut yang belum tuntas hingga saat ini.
Warga Semunying Jaya lainnya, Nuh Rusmanto (kala itu) juga menyampaikan protesnya. Apa yang di tayangkan menurut Nuh sangat jauh dari kenyataan yang ada di Semunying Jaya. Abulipah warga Semunying Jaya lainnya mengatakan sikap protesnya.
Sebagai masyarakat dirinya mengaku sangat terpukul sekali dengan penayangan liputan OASIS kala itu, karena kenyataan yang sebenarnya tidak demikian. Menurut Abulipah yang juga Sekdes mengatakan bahwa justeru, kondisi ekonomi masyarakat Semunying Jaya masih jauh lebih baik sebelum perusahaan masuk di daerah mereka.
Atas situasi tersebut, warga Semunying Jaya saat itu menyerukan agar perusahaan media lebih objektif dan profesional dalam menayangkan suatu peristiwa.
Melalui konferensi pers yang digelar, sikap keberatan warga Semunying Jaya tersebut didasari sejumlah hal sebagai berikut;
Pertama, bahwa dalam liputan program OASIS ”Menggapai Sejahtera di Perbatasan” lebih banyak menyorot lokasi kebun sawit milik PT. Ceria Prima yang terletak di Desa Kalon, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang.
Jadi bukan berada di Desa Semunying Jaya. Agar diketahui bahwa kebun sawit yang berada di Desa Semunying Jaya baru usia tiga tahun tanam dan atau belum produktif saat itu.
Kedua, bahwa salah satu narasumber yang bernama Supardi bukan warga Desa Semunying Jaya, melainkan warga Pasir Putih di Kecamatan Seluas yang berprofesi sebagai Humas PT. Ledo Lestari. Bahwa yang bersangkutan terlahir di dusun Pareh adalah benar adanya.
Ketiga; selanjutnya jembatan yang ditampilkan dalam tayangan liputan program acara OASIS di Metro Tv, bukan berada di Desa Semunying Jaya, melainkan berada di Desa Sinar Baru.
Keempat; selanjutnya bangunan tempat ibadah (masjid) yang terlihat dalam tayangan liputan tersebut bukan berada di Desa Semunying Jaya, tetapi berada di Desa Kalon, Kecamatan Seluas. Tidak ada bangunan Masjid di Desa Semunying Jaya, mayoritas penganut agama Kristiani. Selanjutnya diklarifikasi warga.
Kelima; bahwa gedung Sekolah Dasar (SD) dan proses belajar mengajar yang tayangkan bukan berada di Desa Semunying Jaya, tetapi berada di Desa Sinar Baru dan Desa Kalon, Kecamatan Seluas.
Keenam; demikian pula usaha koperasi yang diliput dalam program OASIS merupakan koperasi milik PT. Ceria Prima yang berada di Desa Kalon, kecamatan Seluas. Bukan di Desa Semunying Jaya.
Ketujuh; bahwa warga Semunying Jaya juga menyampaikan tidak ada pembukaan lahan perkebunan sawit oleh PT. Ledo Lestari yang dilakukan secara adat seperti yang di tuturkan oleh narasumber (Pak Dum Jampung).
Kedelapan; bahwa warga yang protes bahwa perumahan yang dibangun oleh perusahaan (sebanyak 22 unit) sebagaimana ditayangkan merupakan bagian dari motif perusahaan untuk memindahkan warga Semunying Bungkang (RT. 02), sementara lokasi (perkarangan) rumah lama warga setempat akan ditanami dan dijadikan lahan kebun sawit oleh pihak perusahaan. Saat itu, masih terdapat sekitar enam kepala keluargayang bertahan, tidak mau menyerahkan pekarangan rumah mereka (saat ini sudah tidak ada lagi).
Kesembilan; disampaikan bahwa pernyataan Supardi yang mengatakan bahwa; ”jarak tempuh dari Semunying Bungkang ke kota Bengkayang dulunya di tempuh dalam satu minggu, namun setelah perusahaan masuk bisa ditempuh dalam waktu dua jam” adalah tidak mendasar.
Hal ini menurut warga saat itu karena faktanya, jarak tempuh dari Semunying Bungkang ke kota Bengkayang bila menggunakan sepeda motor saja membutuhkan waktu tempuh selama kurang lebih lima jam perjalanan.
Sejumlah poin yang menjadi dasar protes warga di atas tentunya tidaklah mengada-ada sehingga penting menjadi dasar pihak perusahaan media untuk menentukan pilihan dalam menghormati sikap keberatan warga.
Karena di tahun 2010 sejumlah poin tersebut pernah disampaikan sebagai bagian dari isi nota protes yang dilayangkan, tentu saja seharusnya video tersebut tidak perlu dipaksakan untuk ditayangkan kembali.
Etika Media dan Pentingnya Peran Dewan Pers
Penayangan kembali video bertajuk “Menggapai Sejahtera di Perbatasan” yang sebelumnya mendapat penolakan dalam acara stasiun televisi yang sama hemat penulis sangat tidak pantas. Dengan pemahaman yang sangat sederhana, kenyataan tersebut telah menyalahi etika.
Sangat tidak etis dari sisi pemberitaan, apa lagi sebuah perusahaan media besar seperti Metro Tv. Selain itu tayangan yang ditampilkan syarat dengan informasi yang tidak benar. Ketika hal tersebut kembali di tayangkan, maka sangat wajar bila kemudian muncul kecurigaan yang berlebihan dari siapa saja misalnya dapat memicu pertanyaan soal; ada kepentingan apa sesungguhnya pihak perusahaan media yang kembali menayangkan video tersebut?
Sebagai warga dan pemirsa di berbagai penjuru nusantara, tentu tidaklah berlebihan bila tayangan objektif dan profesional menjadi penantian. Jadi bukan sebuah tayangan yang tidak sesuai fakta dan cenderung provokatif.
Sisi edukasi dalam penayangan acara OASIS bertajuk “Menggapai Sejahtera di Perbatasan” hemat penulis menjadi bias dan syarat dengan kepentingan media yang pro korporasi. Pada sisi yang lain, penayangan video tersebut rentan menimbulkan potensi gesekan di masyarakat.
Terlebih saat ini, komunitas Dayak Iban di Semunying Jaya tengah melakukan gugatan secara hukum terhadap pihak yang dianggap harus bertanggungjawab atas ketidakadilan dan pelanggaran hak kemanusiaan yang terjadi dengan hadirnya perusahaan selama ini.
Ketika pemutaran video OASIS tersebut terus diputar, maka disinilah peran lembaga terkait menjadi sangat diharapkan. Dewan Pers misalnya, tentu memiliki kapasitas untuk melakukan penyelidikan dan pengusutan terhadap indikasi “penyimpangan” media dari etika yang harusnya menjadi dasar pemberitaan.
Pada sisi yang lain, bukan tidak mungkin warga Semunying Jaya yang sebelumnya melayangkan protes kembali bersikap lebih keras.
Sebagai bagian dari pemirsa yang mencintai suasana damai dengan tayangan yang bermutu dan bermanfaat, penulis menilai ada baiknya penayangan dan peredaran video “Menggapai Sejahtera di Perbatasan” segera dihentikan.
Pada sisi yang lain, penulis menganjurkan agar pihak perusahaan media (Metro TV) dengan jiwa besar menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada komunitas Dayak Iban Semunying Jaya. Dewan Pers juga diharapkan dapat menjalankan kewenangannya memproses indikasi pelanggaran yang dilakukan perusahaan media agar protes warga dan pelanggaran etika pemberitaan tidak terus terulang.
Menjaga etika dalam pemberitaan di media pastilah menjadi dambaan, dan memastikan penghormatan terhadap keberadaan komunitas Dayak Iban adalah keharusan. Semoga***
[1] Penulis, aktivis WALHI Kalimantan Barat
***Terima kasih kepada Redaksi Tribun Pontianak yang telah menerbitkan Artikel ini pada media yang diasuh pada edisi hari ini, Selasa 14 April 2015, di halaman 15.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H