Menurut saya, kedua pandangan ini dapat digunakan secara efektif dan saling melengkapi satu sama lain. Hal ini tergantung dari konteks, tahapan, dan kematangan siswa. Tidak semua hal, seorang guru langsung memberikan tugas kepada siswa untuk menjari atau mendalami materi tertentu.Â
Sebaliknya tidak semua materi harus dijelaskan secara rinci oleh guru, tanpa melibatkan siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran. Sebagai contah, dalam pembelajaran agama tentang materi-materi yang fundalamental, siswa tidak begitu saja dibiarkan mencari sendiri jawabannya.Â
Pada tahap permulaan kegiatan pembelajaran, ataupun pada tahap akhir anak harus diarahkan sehingga tidak mereka tidak menyimpang dari ajaran yang benar. Mereka tidak bisa dibiarkan begitu saja untuk memahami tentang pengetahuan iman yang benar.
Hal yang sama juga berlaku untuk kegiatan-kegiatan praktikum. Pada tahap awal, guru harus memberikan arahan, baik secara lisan maupun dalam bentuk job-sheet, serta menyediakan sarana dan prasarana yang lengkap untuk menjamin agar siswa bisa bekerja dalam suasana serius, nyaman dan aman.
Behaviorisme dan konstuktivisme tidak perlu dipertentangkan. Keduanya bisa digunakan sesuai dengan konteks dan kebutuhan dalam pembelajaran.
Semoga para pendidik dapat mengkombinasikan kedua pendekatan ini. Kurikulum merdeka dengan projek profil pelajar Pancasila sebagai salah satu kekhasannya, menghendaki agar kegiatan pembelajaran lebih menekankan keaktifan siswa, kreatif, dan kontekstual. Namun siswa perlu diarahkan sehingga tetap berada pada jalur yang benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H