Model pedagogis seperti ini tentu akan sangat sulit melahirkan critical subjectivity, yaitu , pertama; peserta didik yang bisa membedakan antara  keinginan dan kebutuhan;kedua, subjek yang yang bisa membedakan fakta riil dan fakta yang didapatkan di media; dan peserta didik yang  mampu memahami struktur terdalam dari suatu realitas (M.Agus Nuryanto,2008).Sebaliknya yang akan dilahirkan oleh proses pedagogis seperti ini adalah pribadi yang passive subject, yang mana kelompok ini hanya adaptif dan konformitas dengan realitas kehidupan yang sudah mengakar, ketimbang merumuskan asumsi baru yang mampu mempertanyakan realitas dan implikasi dari perubahan yang ada.
    Jika hal ini berlangsung secara terus menerus, tentu Pendidikan kita akan disangsikan,dalam menghasilkan generasi  yang berkualitas,kritis dan inovatif, justru Pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai pragmatis akan membentuk dunia Pendidikan seperti layaknya pasar, yang hanya mengutamakan mekanisme untung rugi ketimbang kualitas output dari generasi yang dididik
    Berbeda halnya dengan ideologi pragmatisme, orientasi Pendidikan dalam ideologi idealisme tidak hanya menekankan pada kapasitas pengetahuan instrumental, tetapi juga pengetahuan moral-emansipatoris , penekanan utama pada aspek pedagogis ini adalah bagaimana generasi mampu memahami,mengkritisi,memproduksi dan memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk mengkonstruksi realitas kehidupannya sesuai koridor pendidikan yang hakiki.
    Dalam bingkai persepsi ideologi idealisme ini,proses pedagogis dan edukasi mengarahkan peserta didik pada pengembangan  kesadaran  berpikir kritis dan penguasaan keterampilan-keterampilan teknis yang dibutuhkan dalam konteks ruang lingkup pendidikannya. Sebab pada galibnya penindasan,dominasi,dan eksploitasi dalam dunia  Pendidikan timbul akibat  terdegradasinya fakultas berpikir kritis manusia untuk mempertanyakan berbagai konsekuensi dari realitas Pendidikan dan pola pikir yang menganggap investasi di dunia Pendidikan diyakini akan menjadikan peserta didik untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
Budaya  Kesadaran Berpikir Kritis
    Berpikir kritis pada dasarnya  mengandung gagasan dimensi politik dan kultural, hakikat kemampuan berpikir kritis tidak sekadar mengacu pada "keterampilan berpikir". Dalam perspektif berpikir kritis, takaran keberhasilan  lebih ditekankan pada sejauh mana peserta didik mampu menjadi warga negara yang kritis,aktif,dan inovatif.
    Gagasan berpikir kritis dapat juga dijadikan sebagai motor penggerak perubahan sosial kearah yang lebih baik dan humanis, mesti disadari , Tarik menarik kepentingan antara memegang tradisi lama dengan perlunya beradaptasi dengan nilai tersebut dengan perubahan yang ada menjadi suatu rumusan gagasan yang perlu dimaknai secara mendalam.Â
    Dengan kesadaran berpikir kritis masyarakat dapat memfilter mana tradisi/budaya/pola pikir  yang perlu dipegang terus sebagai acuan dalam mengkritisi dunia Pendidikan,dan mana nilai yang harus diadaptasi atau bahkan ditinggalkan karena sudah tidak kontekstual dengan perubahan yang ada.pertanyaan  kritisnya adalah apakah kita akan terus  menerus mengikuti irama tradisi konvensional yang menganggap bahwa investasi dunia pendidikan semata-mata hanya difokuskan pada upaya memperoleh pekerjaan.
    Dengan membudayakan  berpikir kritis, masyarakat dapat mempunyai aset dalam menginterpretasi dan mengevaluasi makna dan hakikat serta tujuan dari Pendidikan itu sendiri, bahwasanya ,Pendidikan itu tak semata soal penguasaan keterampilan untuk memperoleh pekerjaan, tetapi lebih dari itu makna filosofis dan praktis dari pendidikan berjalan beriringan, pendidikan juga dapat dimaknai sebagai proses pedagogis untuk menghasilkan generasi yang mampu kritis dalam melihat segala realitas sosial dari berbagai perspektif untuk kemudian menyaring mana yang perlu dijadikan acuan dan mana yang perlu diubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H