NILAI, TAK MELULU SOAL ANGKA
Oleh: Hendriko Handana
Papa dan Mama membelikan kami sebuah komputer desktop pada sekitaran tahun 2000. Saat itu di kampung kami, belum banyak yang memiliki benda ini. Masih langka. PC Berspesifikasi rendah ini punya prosesor Intel Pentium 2. Saya tak ingat persis besar RAM dan kapasitas storage terpasang di dalamnya.
Dengan komputer ini saya pertama kali mengutak-atik komputer bersistem operasi windows 95 dengan logo legendaris itu, mahir mengetik kata di Microsoft Word dan Excel, menggunakan printer epson dot matrix yang bunyinya memekakkan telinga, dan beberapa waktu kemudian pun bisa menikmati telkomnet instant.
Kisah lain, saat mencoba peruntungan nasib di Jakarta penghujung 2010, Mak Etek dan Tante meminjamkan saya sebuah laptop kecil, lebih familiar disebut netbook. Dengan netbook ini, saya melamar tak kurang dari 150 lowongan via aplikasi online, sampai mendapatkan pekerjaan pertama.
Dua komputer, desktop dan netbook, dari dua kisah di atas, sebenarnya tak seberapa harga dan spesifikasinya dibanding perangkat dengan yang saya gunakan saat ini. Namun pengaruh dan jasanya besar. Tanpa perantara kedua benda itu, saya tak berada pada kondisi saat ini. Tentunya dengan izin Yang Maha Kuasa. Benda-benda itu menjadi pijakan perantara pada masa lalu.
Inilah nilai. Tak tepat kalau nilai sebuah benda, hanya kita ukur dengan harga. Ia punya makna tak terhitung, bahkan terlihat.
Hmmm...
Saya yakin dompetmu pasti tebal, Kawan. Anggap saja, kamu habis gajian. Di kantong, kamu punya uang tunai beberapa lembar 100 ribuan. Ini misalkan.... Meski mungkin kenyataan tak sesuai... Mengenaskan. Haha... Barangkali di genggamanmu artinya tak seberapa. Satu lembar bahkan tak cukup untuk hang out sekali saja, bahkan kurang. Namun, apa yang terjadi jika satu lembar itu kamu berikan kepada seorang Ibu pemulung yang sedang bekerja keras mengumpulkan sampah-sampah botol dan kardus seraya menggendong anak balitanya? Seketika bisa membuat haru dan matanya berkaca-kaca, ekspresi syukur yang luar biasa. Dan uang seratus ribu bergambar Soekarno-Hatta itu, di tangan pemulung, naik drastis nilainya.
Di akhir bulan pun kondisi berbeda. Saat stok isi kantongmu menipis. Perut kembang kempis. Wajahpun sering meringis. "Apakah gajian masih lama?" Nah, saat mencuci pakaian, tiba-tiba kamu temukan satu lembar 100 ribu terselip di saku celana. Haha. Gembiranya sampai mencak-mencak, jungkir balik riangnya.
Lagi-lagi itu soal nilai. Uang 100 ribu yang sama dapat berbeda-beda nilainya. Tergantung siapa yang memiliki, kapan waktunya, dan bagaimana situasinya.