Bagian 8: Bunga Bangsa, Keluarga Luar Biasa
Oleh: Hendriko Handana
Wawan dan Rendra, dua sahabat perdanaku di asrama. Kami bertiga menempati satu kamar yang sama. Di ruangan inilah kami bersama-sama melewati 3 minggu masa pelatihan dalam suka ceria, dan jarang sekali berduka.
Wawan utusan Kalimantan Selatan. Secara kebetulan, tanggal bulan dan tahun lahir kami persis sama. Nama lengkapnya Fajar Indrawan. Karena itu, Sebagian sahabat memanggil dia Fajar.
Wawan adalah yang paling kritis di antara kami bertiga. Dia sering cerewet kalau kamar tidak rapi atau barang-barang di kamar berantakan.
Rendra, putra asli Indramayu, Jawa Barat. Berperawakan besar dan tidak banyak bicara. Kesan pertamaku saat melihat Rendra adalah gaya langkah tegapnya. Hentakan pertama saat mulai melangkah begitu keras dan kaku, lebih tegap daripada tentara.
Urusan kerapian kamar, Rendra cuek dan kadang serampangan. Akibatnya, dia beberapa kali jadi korban omelan Wawan. Aku mengambil peran sebagai penengah di antara mereka. Namun, tak jarang juga aku sengaja kompori Wawan agar tetap hangat suasana. Haha... ✌☺
Kamar kami terletak nomor tiga dari depan. Strategis karena berada di tengah-tengah asrama. Tidak jauh dari ruang tamu tempat kami biasa bercengkrama. Aku pun bisa dengan mudah menjangkau kamar rekan lainnya. Hampir semua kamar pernah pernah kujelajahi. Misiku mengenal kawan seluruh nusantara dari hati ke hati. Begitupun mereka, para sahabatku lainnya. Jam istirahat sama sekali tidak sia-sia. Kami selalu berbagi cerita.Â
Tiga minggu masa pelatihanpun membuat kami terasa menjadi satu keluarga. Anehnya, kehidupan dan kegiatan latihan di asrama ini lebih kami rindukan daripada sekedar tampil singkat di Istana Merdeka. Begitu indah untuk dilewatkan.
Salah satu kamar yang sering kusinggahi adalah kamar Rico Natalyos, utusan Riau. Bagan Siapi-api asalnya. Kebetulan nama panggilan kami sama. Tetapi, kami terbiasa dengan panggilan 'sanak'. Sanak dalam bahasa kami berarti saudara.