Perdebatan soal pertarungan pemilihan presiden dan hal-hal turunannya di media sosial berlangsung cukup sengit. Saya tidak yakin ini akan berakhir dalam waktu singkat, meski seandainya jika pemilu dipercepat. Yang terjadi hanya ritme saja yang turun-naik tergantung peristiwa yang jadi pemantik.
Namun belakangan saya sedang menikmati hal ini. Bukan karena akun-akun nyinyir bin julid sudah saya unfollow atau unfriend. Jikalau begitu, mungkin friend list saya akan berkurang drastis. Bukan juga karena sama sekali saya berhenti berselancar dunia online.
Sekarang, komentar-komentar pedas ini justru saya tempatkan menjadi  sebuah hiburan. Beberapa akun yang sering saya 'nikmati' adalah milik beberapa tokoh di facebook dan instagram.Â
Pastinya dua calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang saya follow. Juga akun calon wakil presiden Sandiaga Uno. Sayangnya saya belum menemukan akun official milik KH. Ma'ruf Amin. Jika ada, tentu dunia perjulidan akan semakin bermutu. Ada juga Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, gubernur bertetangga dari dua kubu yang tidak sama.
Di saat muncul postingan baru dari akun-akun tersebut, saya justru kurang tertarik membaca konten yang diberitakan. Perahatian saya tertuju pada kolom komentar. Komentar semacam, "semoga menang", "kami mendukung" ataupun "ini calon pilihan kami", bagi saya, ini begitu normatif. Tidak menarik. Justru saya bersemangat membaca komentar-komentar pedas beserta jawaban-jawaban counter attack-nya. Ini baru seru. Haha. Rusak memang.
Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, sejatinya mereka tidak sedang berkompetisi. Hanya saja, bukan netizen kalau tidak berlaku nyinyir. Saat Gubernur Anies membangun jembatan penyeberangan, komentar yang muncul adalah "gubernur kami malah sibuk membuat gambar". Pun demikian, saat Gubernur Emil siuk revitalisasi sungai, tak pelak sindir berdatangan "Gubernur kami cukup tutup sungai pakai jaring". hehe.
Ajang pemilihan presiden tanpa komentar netizen mungkin juga sunyi. Ibarat pertandingan bola, mereka punya supporter di stadion. Jika penonton malah diam membisu, apa kata dunia? Saat striker nyaris mencetak gol, tidak ada teriak dukungan dan harapan. Begitu saat tim nyaris kebobolan, tak ada histeris kekuatiran. Pertandingan yang hambar, bukan?
Agaknya menjadi calon pejabat saat ini ada kriteria tambahan yang mesti dipenuhi seorang tokoh. Sebelum masuk ke kriteria umum, semacam mampu memimpin, berpihak pada rakyat, punya visi dan misi yang kuat dan lain sebagainya. Hal yang lebih utama adalah tidak baper terhadap komentar netizen. Hehe. Ini justru lebih penting.
Namun, apakah komentar nyinyir bin julid semacam itu yang diharapkan dari hangat 'pesta demokrasi' di negara sebesar Indonesia?
Saya tidak dapat bayangkan jika pada zaman kemerdekaan, negara kita sudah mempunyai media sosial. Maka Jepang akan dengan mudah memecah belah warga negara. Cukup dengan bikin tagar #dukungjepang2periode atau #akanmerdekapadawaktunya. Situasi membuktikan, perang tagar membuat netizen kita sangat gampang diadu domba. Selain itu, tokoh seperti Bung Karno dan Bung Hatta bersama anggota BPUPKI-PPKI yang berkonsentrasi dalam diplomasi dengan Jepang, tentu kesulitan juga melawan netizen. Bisa jadi mereka akan diadu dengan tokoh sekelas Tan Malaka misalnya. Haha. Ada-ada saja.