Oleh: Hendriko Handana
Bagian 2: Seleksi, Peserta yang Tak Diundang
Payakumbuh, April 2003
Ibu Marni, wakil kepala sekolah kami, berjalan tergopoh menyusuri lorong sekolah. Beberapa kelas beliau sambangi. Terlihat mencari beberapa siswa dan siswi.
Jumat itu, hari masih pagi. Bel jam pelajaran pertama baru berbunyi. Konsentrasiku belum begitu terkumpul, seiring belum dicernanya sarapan pagi di kantin sekolah. Bakwan dan lontong sayur masih terasa di lidah. Rasanya ingin nambah. Ah... bel sekolah nyatanya tak mengerti teriakan lambungku.
Suara ketukan pintu kelas membuyarkan fokusku. Ibu Marni kulihat di depan pintu. Sekilas ia berbicara dengan Ibu Tini* yang sedang mengajar di kelas kami.
"Riko, kamu ikut Ibu Marni ke kantor majelis guru, ya!" Bu Tini memanggil namaku.
"Ya Bu", jawabku sambil beranjak tak membuang waktu.
Suasana pelataran majelis guru sedang hening. Perlahan satu per satu siswa-siswi yang dipanggil Bu Marni berdatangan. Pak Fir, salah satu guru hits sekolah kami, menyusul muncul dari balik pintu. Beliau pembina OSIS.
"Sepuluh utusan kan ya, Bu Mar?" suara Pak Fir membuka pembicaraan.
"Benar sudah ada sepuluh Pak Fir"