Immanuel Kant (1724-1804) menyebut moral sebagai bagian dari imperatif kategoris yang berarti bahwa sesuatu yang sudah ada dalam diri manusia tanpa ada yang memaksakannya. Moral merupakan perasaan natural yang tidak pernah dapat dimonopoli agama atau bangsa tertentu. Bahkan Immanuel Kant mensejajarkan moral dengan keseimbangan alam. Oleh karena itu moral perlu diasah terus menerus agar tidak tertutupi oleh ambisi lainnya.Â
Moralitas perlu disistematisasi dengan berbagai perangkat berupa etika. Etika adalah renungan lebih mendalam tentang moralitas. Artinya etika merupakan perenungan filosofis terkait segala potensi baik yang melekat dalam diri manusia, berupa norma dan naturalitas kebaikan.
Pancasila sebagai salah satu pandangan hidup dunia dapat menjadi salah satu penuntun perumusan etika kemanusiaan. Karena nilai yang terkandung dalam Pancasila yang secara filosofis saling terintegrasi sangat relevan untuk dioperasionalisasikan. Satu sila dengan sila yang lain menunjukkan ketergantungan yang mengikat.Â
Notonegoro (1905-1981) sebagai salah satu pemikir Pancasila menggunakan metode aristotelian dalam melihat Pancasila. Beliau menggambarkan Pancasila sebagai entitas yang monodualis sekaligus monopluralis. Setiap sila memiliki keterkaitan dan impact ke sila yang lain. Artinya ketuhanan yang maha esa harus berdampak pada kemanusiaan, persatuan, kerakyatan hingga dampak puncaknya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Begitu juga keadilan sosial harus dijiwai dengan nilai kerakyatan, persatuan, kemanusiaan dan ujungnya adalah Ketuhanan.Â
Pancasila dirumuskan dengan berbagai macam perdebatan historis. Pancasila mengalami dinamika dalam rapat BPUPKI yang dilanjutkan perumusan Piagam Jakarta yang dikukuhkan dengan PPKI. Sebenarnya Pancasila sendiri adalah nilai universal yang digali Soekarno dari nenek moyang bangsa Indonesia.Â
Lewat perenungan mendalam serta penyelaman spiritual Soekarno menggali berbagai macam lapis kebijaksanaan sejarah bangsa. Zaman pra sejarah, hingga masa politik etis dan pendudukan Jepang, bangsa Indonesia memiliki nilai dasar yang selalu dipegang. Nilai dasar ini lah yang diekstraksikan Soekarno dan disempurnakan oleh para pendiri bangsa Indonesia di BPUPKI dan PPKI.Â
Jika kita refleksikan lebih dalam, Pancasila merupakan bentuk kompromi atas berbagai macam pendapat mengenai hubungan antara agama, moralitas, sosialitas, demokrasi dan negara. Pada saat rapat BPUPKI menjelang kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 30 Mei-1 Juni 1945, para pendiri bangsa mencurahkan pikiran mereka untuk mendiskusikan bentuk negara Indonesia.Â
Di awal perdebatan memang cenderung panas, karena terjadi konflik pikiran antara golongan islamis dan golongan kebangsaaan. Untungnya pada 1 Juni 1945, pidato Soekarno menjadi pendobrak kebuntuan perdebatan dasar negara. Pidatonya yang akhirnya disebut-sebut sebagai awal mula Pancasila ini menjadi pengunci serta penengah atas konflik para peserta BPUPKI.
Etika Pancasila, Korupsi dan Problematika Keadilan Sosial
Etika Pancasila adalah moralitas manusia yang disinari atau diilhami oleh nilai-nilai Pancasila. Pancasila yang menjadi filsafat hidup bangsa Indonesia yang distrukturkan oleh Soekarno, sangat penting untuk dikaji kembali dalam perspektif moralitas. Hal ini karena moral adalah naturalitas yang sudah ada dalam diri manusia.Â
Damardjati Supadjar (1940-2014) membahasakan pengamalan filsafat etis Pancasila dengan menarik. Menurut salah satu Guru Besar UGM sekaligus pendiri Pusat Studi Pancasila ini secara filosofis sila pertama merupakan ruh dari sila selanjutnya. Efek dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa adalah terjadinya Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka idealnya jika kita ingin melakukan lompatan kemajuan untuk beberapa tahun ke depan kita harus secara konsisten untuk melakukan segala hal dengan orientasi keadilan sosial.Â