Tidak terasa sebentar lagi, kurang lebih sekitar tiga hari lagi, kita akan menghadapi pemilihan presiden pada tanggal 14 Februari 2024, yang bertepatan juga dengan perayaan Hari Valentine atau Hari Kasih Sayang.Â
Tentu saja maksud dari tulisan ini bukan untuk menjelaskan korelasi antara Hari Valentine dengan pemilihan pemimpin negara, apalagi menyebarkan preferensi politik saya kepada khalayak umum.
Adapun maksud daripada tulisan saya ini adalah untuk membahas adanya fenomena dikotomi teologis yang terjadi dalam perpolitikan di Indonesia, terutama dalam konteks pemilihan umum.
Namun sebelum saya lanjut lebih jauh, izinkan saya untuk menjelaskan sedikit maksud daripada judul yang saya tulis di atas.
Kata -isme merupakan sebuah suffix atau imbuhan akhir yang awam digunakan dalam kaidah kebahasaan. Asalnya dari bahasa Yunani, yaitu "-ismós", kemudian menjadi "-ism" dalam bahasa Inggris dan "-isme" dalam bahasa Indonesia.
Isme merujuk pada serangkaian doktrin, sistem, atau praktik yang didasarkan pada suatu ideologi tertentu. Misalnya seperti komunisme, nasionalisme, maupun sosialisme.
Lalu kemudian pertanyaannya adalah, apa itu Surgaisme dan Nerakaisme?Â
Surgaisme dan Nerakaisme adalah dua konsep keyakinan yang secara tidak sadar muncul dalam pemikiran masyarakat Indonesia, yang membagi kubu politik menjadi kubu surga dan kubu neraka.
Tentu saja dalam praktiknya, masyarakat tidak secara eksplisit membagi para politisi ini ke dalam kedua kubu tersebut. Implementasinya lebih kepada pembentukan opini.Â
Konsep Surgaisme dan Nerakaisme tidak dapat saling dipisahkan di antara satu dengan yang lainnya. Penjelasan sederhananya karena bilamana ada surga di situ sudah pasti ada neraka, dan begitu juga sebaliknya.